How 'clean eating' fad can spark a dangerous spiral into depression and illness

How 'clean eating' fad can spark a dangerous spiral into depression and illness
Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book.

R&D tax relief goes far beyond 'blue sky' research - all types of business can benefit

R&D tax relief goes far beyond 'blue sky' research - all types of business can benefit
Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book.

Stars facing 'Dance Off' as Des sambas through pain and Dayl gives everything to get top score

Stars facing 'Dance Off' as Des sambas through pain and Dayl gives everything to get top score
Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book.

Rugby mourns the death of Australian lock Dan Vickerman, aged just 37

Rugby mourns the death of Australian lock Dan Vickerman, aged just 37
Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book.

Recent Posts

Study Kasus pelanggaran HAM

Study Kasus pelanggaran HAM

Hasil gambar untuk Studi Kasus pelanggaran HAM

Belakangan ini, isu trafiking sudah menjadi isu bersama baik pemerintah, LSM, ormas dan sebagainya. Dengan kemampuan yang dimilikinya, selama ini masing-masing lembaga melakukan kerja-kerja seperti pencegahan, penanganan kasus maupun medorong munculnya kebijakan-kebijakan ditingkat pemerintah. Namun demikian, dari kerja-kerja yang dilakukan terkadang antara satu lembaga dengan lainnya berjalan sendiri-sendiri. Sehingga saling tumpang-tindih antara satu dengan lainnya. Di sisi lain, persoalan yang seharusnya ditangani terkadang terabaikan, karena kesibukan masing-masing lembaga. Dalam hal ini, kiranya perlu ada mekanisme kerja jaringan serta sistem rujukan data dan kasus penanganan secara terpadu. Karena kejahatan trafiking merupakan kejahatan kemanusiaan yang membutuhkan penanganan bersama dan kerjasama antar multi stakeholder. Demikian beberapa persoalan yang mengemuka di “Pertemuan Jaringan Anti Trafiking” bertempat di Fahmina Training Centre Jalan Suratno No. 32 Kota Cirebon. Kegiatan yang dilaksanakan pada Selasa, 22 April 2008 ini, diikuti oleh 30 aktifis dari berbagai lembaga yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Anti Trafiking (JIMAT) Cirebon dan Satuan Gugus Tugas Anti Trafiking (SANTRI) Indramayu dan sejumlah perwakilan instansi pemerintah daerah terkait. Dalam pertemuan tersebut, sejumlah aktifis menyoroti lambannya penanganan kasus trafiking yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum di Indramayu dan Kabupaten Cirebon. Seperti yang diungkapkan oleh Masripah, dari FWBMI Indramayu, “meskipun Peraturan Daerah (Perda) Pelarangan Trafiking sudah ada di Indramayu, namun prakteknya aturan tinggal aturan, tapi aparatnya lempar tanggung jawab jika diminta bantuan menangani berbagai kasus trafiking atau buruh migran yang muncul di daerah tersebut”. Lebih lanjut Masripah menjelaskan bahwa aparat berwenang seringkali mengemukakan alasan klasik yaitu karena tidak adanya anggaran. Sri, dari WCC Balqis Arjawinangun, juga mengeluhkan soal komunikasi sesama anggota jaringan yang kadang saling lempar kasus, padahal korban butuh penanganan segera. Sri berharap melalui pertemuan jaringan seperti ini soal pembagian kerja bisa diagendakan, agar lebih banyak lagi kasus trafiking yang bisa ditangani. Castra, dari FWBMI (Forum Warga Buruh Migran Indoensia) Cirebon memandang perlunya penguatan kapasitas terhadap para aktifis dan petugas pendamping anti trafiking, dalam hal kemampuan paralegal, fundrising dan strategi sosialisasi. Di akhir pertemuan, untuk memperkuat sistem, efesiensi dan mekanisme kerja jaringan anti trafiking di Indramayu dan Kabupaten Cirebon, para peserta menyepakati perlu ada pertemuan jaringan lanjutan, untuk membahas soal kode etik jaringan. Sumber : Oleh Erlinus Thahar Sambung Rasa RRI Cirebon Bahas Soal Trafiking Ditulis oleh Administrator Wednesday, 25 February 2009 “Bagaimana pemerintah menanggapi banyaknya kasus-kasus trafiking yang ada“, tanya salah satu peserta acara Sambung Rasa sore itu (2/11). Pertanyaan tidak langsung diserahkan kepada para narasumber untuk dijawab, tetapi semua peserta yang hadir diberi kesempatan terlebih dahulu untuk menaggapi pertanyaan tersebut, sebelum akhirnya Mas Taufik, Sang Moderator, mempersilahkan Ali Mursid, sebagai narasumber dari Fahmina, untuk menjelaskan. Acara sambung rasa ini terselengara berkat kerjasama antara Radio Republik Indonesia (RRI) Cirebon dengan Fahmina Institute. Selain narasumber dari fahmina, acara ini juga menghadirkan narasumber dari Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID) Cirebon, yaitu Akbarudin Sutjipto, sekretaris KPAID. Kang Akbar, sapaan akrab Akbaruddin Sucipto, menyayangkan sikap pemerintah yang seolah hanya mengeruk harta dari para buruh migran Indonesia (BMI). Disisi lain mereka mengakui BMI sebagai pahlawan devisa-yang begitu banyak memberikan pendapatan bagi Negara melalui remittance-tapi tidak ada perhatian yang serius untuk menciptkan save migration bagi mereka, selama ini yang terjadi di Indonesia adalah hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, sungguh ironis. Pemerintah sudah membuat undang-undang Peraturan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), tinggal bagaimana sikap para penegak hukum dan semua pihak yang terkait berkomitmen untuk melaksanakannya. Beberapa peserta menganggap bahwa banyak orang Indonesia yang pergi ke luar negeri sebagai Buruh Migran bukan atas paksaan dari siapapun, tapi atas keinginannya sendiri. Mengenai hal ini, Kang Ali-begitu panggilan akrab untuk Ali Mursyid, menegaskan bahwa bekerja di luar negeri adalah hak setiap warga Negara Indonesia. Yang lebih penting adalah bagaiaman hak bekerja itu terjamin kemanan dan kenyamanannya. Program pencegahan dan penanganan trafiking bukanlah program yang melarang perempuan menjadi TKW. Ini berbeda dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pernah mengeluarkan fatwa bahwa perempuan haram jadi TKW. Fatwa haram biasanya disandarkan pada hadits yang artinya; “Perempuan dilarang pergi sendirian lebih dari 3 hari kecuali dengan mahram-nya”. Dosen Institute Study Islam Fahmina(ISIF) ini, juga menjelaskan bahwa saat ini mahram bisa diartikan sebagai perlindungan hukum. Untuk itulah Fahmina bersama jaringan mendorong untuk pemerintah daerah membuat perda trafiking sejak tahun 2004, walaupun di pemerintah kabupaten Cirebon belum juga digarap serius, kalau di Indramayu sudah dibuat perda trafiking, tinggal menunggu komitmen dari semua elemen masyarakat untuk mewujudkannya. Tak hanya itu, para peserta juga menanyakan tentang kemana harus melaporkan kasus trafiking, bagaimana menyikapi kasus trafiking dengan modus pengantin pesanan, juga kondisi masyarakat yang masih awam tentang trafiking walaupun berbagai bentuk sosialisasi sudah dilakukan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah, seperti Fahmina. Acara yang bertempat di kantor Fahmina Institute ini juga sedianya mengundang Bapak Kapolresta Cirebon, tapi beliau tidak hadir tanpa memberikan konfirmasi yang jelas. Hal itu, sangat disayangkan para peserta karena pihak Polresta sangat mereka nantikan untuk menjelaskan sejauh mana kepolisian, terutama kota Cirebon menangani kasus-kasus trafiking yang ada. Rupanya, perbincangan seputar trafiking memang sangat menarik, terbukti ketika diskusi telah ditutup oleh Sang Moderator, yang juga merupakan salah satu penyiar RRI, diskusi masih tetap hangat, “bicara trafiking, satu jam terasa sangat singkat” ungkap Victor salah seorang peserta. Sumber : Alifatul Arifiati Pelaku Trafiking Diganjar 4 Tahun Penjara, Jaksa Naik Banding Ditulis oleh Administrator Wednesday, 25 February 2009 Setelah kurang lebih setahun melewati proses hukum, kasus trafiking dengan korban Sn (19 tahun), In (27 tahun) dan Ya (22 tahun) warga Pecilon Kabupaten Cirebon, akhirnya telah sampai pada keputusan hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Cirebon. Melalui Majelis Hakim yang dipimpin oleh Rusyono SH, pada tanggal 5 mei 2008, terdakwa Su (46 tahun) dan Si (47 tahun) akhirnya dijatuhkan hukuman penjara masing-masing 4 dan 3 tahun potong tahanan. Ini jauh dibawah tuntutan jaksa penuntut umum sebesar 10 tahun penjara. Sementara tuntutan subsider, berupa restitusi (ganti rugi) ditolak majelis hakim, karena permohononan restitusi baru diajukan ketika sidang berlangsung. Tiga perempuan korban trafiking tersebut semula dibujuk oleh terdakwa dengan janji diberi pekerjaan bergaji besar di sebuah kafe di Lubuk Linggau. Kontan saja, korban yang memang lagi membutuhkan pekerjaan tanpa pikir panjang menerima tawaran tersebut. Apalagi terdakwa memberikan pinjaman masing-masing 1 juta rupiah sebelum berangkat untuk keperluan membeli pakaian, kosmetik dan sisanya diberikan ke keluarga yang ditinggalkan. Namun, ternyata impian korban akhirnya kandas. Mereka malah terjerat di sebuah sindikat pelacuran di KM 15 Lubuk Linggau, Sumatra Selatan, sebuah kawasan prostitusi cukup terkenal di Sumatra Selatan. Di lokasi tersebut, mereka dipaksa melayani puluhan lelaki tiap malam. Jika melawan, mereka disiksa dengan cara dipukul dan ditendang oleh mucikari mereka. Untunglah salah satu korban berhasil mengontak keluarganya di Cirebon. Mendengar kondisi tersebut, keluarga korban melapor ke Polres Cirebon. Bersama Fahmina institute, pihak Polres berupaya menjemput korban. Kemudian menjerat pelaku dengan UU No 21 tahun 2007 Pemberantasan Tindakan Pidana Perdagangan Orang. Setelah melalui proses peradilan berlangsung setahun lebih, kemudian dua orang pelaku kejahatan tersebut dijatuhi hukuman 4 dan 3 tahun, potong masa tahanan. Kurang puas dengan vonis tersebut, rencananya jaksa penuntut umum Nita SH mengajukan upaya naik banding.*** Sumber : Erlinus Thahar Magang Kerja, Modus Baru Trafficking Ditulis oleh Administrator Wednesday, 25 February 2009 Mereka baru beranjak dewasa. Semangat untuk menimba ilmu masih menggebu-gebu. Siapa sangka keseriusan 45 mahasiswa The Bandung Hotel School (TBHS) memperdalam ilmu pariwasata itu berujung kemalangan. Wajah-wajah belia dan lugu itu menjadi sasaran empuk sindikat trafficking untuk dikirim ke luar negeri sebagai tenaga kerja dengan kedok magang kerja. Awalnya para mahasiswa itu mengikuti praktik magang kerja sebagai salah satu persyaratan kurikulum TBHS. Namun, ada juga yang mengetahui lowongan itu melalui iklan di media massa Bandung. "Waktu itu saya lihat iklan di media massa. Iklan itu sebenarnya lowongan kerja, tapi berkedok management training," tutur Siti Sekar Nusantari, alumnus Shoreline College Seattle Amerika Serikat, kepada VHRmedia.com, Kamis (26/7). Gadis Cimahi yang akrab di panggil Sekar ini tentu tidak menyangka karier pendidikannya berakhir seperti ini. Dia diminta membayar Rp 4,5 juta dengan alasan untuk keperluan administrasi seperti paspor dan surat-surat lainnya. "Saya berangkat sebulan lalu dan bekerja di sebuah travel agent. Tapi saya kecewa karena merasa dibohongi dengan izin yang bermasalah," ujarnya. Nasib Sekar mungkin berbeda dari nasib Asep Suhardi. Pria kelahiran 23 Februari 1987 itu masih terdaftar sebagai mahasiswa semester I The Bandung Hotel School. Seperti proses kuliah pada umumnya, menurut Asep, tiga bulan pertama dia mendapatkan teori dan tiga bulan berikutnya praktik. Dia terpaksa mengikuti job training di Malaysia untuk menyelesaikan pendidikan D1. Di Malaysia, Asep dipekerjakan di rumah makan pinggir jalan, Restoran Nasi King Briyani. "Saya berangkat tanggal 31 Mei, ditangkap 27 Juni malam. Tanpa ada pertanyaan apa-apa, polisi bawa borgol langsung merantai dan menyeret kami ke mobil. Selanjutnya lima hari ditahan di Camp Putra Jaya," tuturnya. Di penampungan itu Asep tidak bisa menghubungi siapa pun, bahkan orang-orang terdekat sekalipun. Kemudian dia dipindahkan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur. "Harapan saya waktu itu hanya ingin cari pengalaman di luar negeri. Rata-rata kami bekerja 16 jam. Masuk pukul 8 pagi keluar 12 malam," kenangnya. Penangkapan pendatang di Malaysia memang tidak mengenal jenis kelamin dan usia. Mita Puspapani mengalami nasib buruk itu. "Saya ikut ditangkap juga waktu itu," katanya. Gadis semester IV TBHS ini dipekerjakan tidak sesuai dengan yang dijanjikan pihak sekolah. Dara asal Cimahi ini dijanjikan bekerja dengan posisi supervisor training. Nyatanya dia dipekerjakan sebagai waitress di Robert Harrus Endless Coffe & Cuisine. Ketua Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan WNI KBRI di Malaysia, Tatang B Razak, mengatakan kasus ini terbongkar berawal dari SMS seorang siswa SMK di Bogor kepada petugas KBRI pada 6 Juli 2007. Pesan singkat korban eksploitasi yang diselamatkan KBRI pada April 2007 itu memberitahukan temannya yang sedang on the job training ditangkap Imigrasi Malaysia. "Kami sudah membongkar (kasus trafficking) tiga kali. Setelah SMS itu dikembangkan, kami menemukan 18 orang ditahan di Imigrasi. Ketika tim KBRI melihat ke sana, mereka ada yang dirantai dan memakai baju tahanan," kata Tatang yang mendampingi para korban pulang di Bandara Soekarno Hatta, Kamis (26/7). Tatang menyayangkan tindakan sekolah yang sengaja mengeksploitasi para pelajar. Program tersebut ternyata dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi dan tidak melalui prosedur yang seharusnya. "Mereka mengikuti program ini sebagai bagian dari kurikulum. Tapi visa yang diurus visa turis, bukan visa on the job training. Mereka juga tidak mempunyai program, karena ada beberapa yang dipekerjakan tidak sesuai dengan bidangnya. Ada yang dipekerjakan di restoran biasa di pinggir jalan dengan 16 jam kerja. Apa itu on the job training? Ini jelas eksploitasi," ujarnya. Karena sering terjadi kasus semacam itu, KBRI mengimbau agar program praktik kerja industri segera ditertibkan. Sebab, banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia yang mengikuti on the job training di luar negeri, namun mereka di eksploitasi. "Kami tidak tahu mengenai hal ini dan baru tahu setelah ada kejadian. Kami minta segenap masyarakat untuk bekerja sama membongkar kasus ini," kata Tatang. Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri menyatakan kasus ekslpoitasi pelajar dan mahasiswa Indonesia berkedok on the job training merupakan modus operandi baru. "Seolah-olah mereka akan dijadikan siswa magang, padahal di sana dipekerjakan," kata Bambang di Mabes Polri. Dia mengatakan langkah-langkah hukum telah dilakukan terkait dengan praktik pengiriman pelajar ini. Brigjen Pol Mathius Salempang, Kepala Biro Analisis dan Pengkajian Kejahatan Antarnegara Mabes Polri, menginformasikan sudah menahan 3 tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Priyanto Esty Hartono (Direktur TBHS); Widy selaku agen penempatan on the job training di Malaysia; dan Zubaedah alias Nurul yang membantu Widy menempatkan mahasiswa di beberapa hotel dan restoran di Malaysia. Menurut Mathius, di Malysia para siswa itu disuruh menandatangani kontrak kerja 3 bulan pertama dengan gaji 350 ringgit untuk 8 jam kerja setiap hari dan 3 bulan berikutnya akan digaji 450 ringgit dengan 12 jam kerja. "Ini jelas masuk kategori trafficking, karena ada unsur kesengajaan dan mencari keuntungan dengan tidak dilengkapi dokumen," katanya. Banyaknya kasus trafficking di tanah air membuat masyarakat resah. Apalagi selalu muncul modus operandi baru. Perlu keseriusan semua pihak untuk mencegah praktik itu. Paling tidak agar nasib pelajar Indonesia tidak berakhir di tangan sindikat perdagangan manusia. Sumber : Kurniawan Tri Yunanto Ditulis oleh Administrator Tuesday, 24 February 2009 HUT Bhayangkara, Momentum Pembangunan Polri di Era Kebangkitan Nasional Oleh: Yuyun Yudhantara Pasca runtuhnya Orde Baru, Polri adalah salah satu institusi negara yang sering mendapat sorotan dan kritikan tajam dari seluruh lapisan masyarakat. Polri masih sering dianggap kurang dapat melindungi masyarakat atau lemah dalam menegakkan hukum. Ada juga perilaku oknum anggota Polri yang menyimpang seperti masih menggunakan cara kekerasan terhadap masyarakat, mengkonsumsi narkoba, pungli dan memeras. Hal ini menandakan bahwa profesionalisme dan kepercayaan masyarakat terhadap polisi belum sepenuhnya terwujud. Di tengah sorotan dari berbagai kalangan, Polri berhasil memberantas berbagai bentuk kejahatan di masyarakat seperti terorisme, narkoba, korupsi, perjudian, pembalakan hutan dan penyelundupan. Khusus pemberantasan terorisme, kepolisian mendapat apresiasi dari berbagai pihak di dalam maupun luar negeri. Di usia yang ke-62 ini, Polri telah berupaya merubah perilaku sesuai paradigma baru Polri dan berfungsi sebagai instrumen negara yang dipercaya masyarakat dalam era kebangkitan nasional? Pertanyaan ini mendorong kita untuk lebih dekat memahami sejarah dan proses reformasi Polri serta arah kebijakan Polri ke depan. Lintasan Sejarah Polri Zaman Hindia Belanda tahun 1800-1942, kepolisian secara administratif berada di Departemen Dalam Negeri yaitu kantor Hoofd van Dienst der Algemene Politie yang hanya bertugas di bidang administrasi seperti kepegawaian, pendidikan , perlengkapan dan pengawasan. Sedangkan untuk operasionalnya dipertanggungjawabkan kepada Jaksa Agung (procureur generaal). Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, pengorganisasian kepolisian disesuaikan dengan organisasi militer. Dibentuk departemen sendiri yang disebut Keimubu. Pusat kepolisian di Jakarta dinamakan keisatsu bu. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, maka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) yang berkedudukan di Departemen Dalam Negeri tanggal 19 Agustus 1945. Pada tanggal 29 September 1945, Presiden Soekarno melantik Kepala Kepolisian Negara R.I. pertama yaitu Jenderal Polisi R.S.Soekanto. Tanggal 1 Juli 1946 keluar Penetapan Pemerintah Nomor 11/ SD/1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara yang yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Semua fungsi kepolisian disatukan dalam Djawatan Kepolisian Negara, dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia yang diperingati sebagai Hari Bhayangkara (Awaloedin Djamin ;1995). Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) keluar Tap Presiden RIS No.150, tanggal 7 Juni 1950, bahwa organisasi-organisasi kepolisian negara-nagara bagian disatukan dalam Djawatan Kepolisian Indonesia. Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok Kepolisian No.13/1961 yang menyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL,dan AU. Masa Orde Baru setelah peristiwa G30S/PKI, keluar SK Presiden No.132/1967 tanggal 24 Agustus 1967, ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD,AL,AU dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan. Pasa masa reformasi, keluar Inpres No.2/1999 tanggal 1 April 1999 yang memisahkan Polri dan TNI,untuk sementara Polri diletakkan di bawah Menteri Pertahanan dan Keamanan. Pada HUT Bhayangkara 1 Juli 2000, dikeluarkan Keppres No.89/2000 yang melepaskan Polri dari Dephan dan menetapkan langsung di bawah Presiden.Kemudian adanya TAP MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menetapkan pemisahan Polri dan TNI, serta TAP MPR No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri. Reformasi Polri Sesuai tuntutan demokrasi dalam masyarakat madani (civil society) ini, perubahan terus dilaksanakan oleh Polri. Kinerja kepolisian adalah melindungi dan melayani (to protect and to serve) bukan membunuh atau dibunuh (to kill or to be kill), untuk itu Polri mencanangkan tiga aspek perubahan yaitu instrumental, struktural dan kultural. Dari aspek instrumental yaitu adanya UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI, secara tegas dinyatakan bahwa Polri bertugas sebagai penegak hukum, pelindung, pelayan,dan pengayom masyarakat serta prinsip menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Aspek struktural, Polri mulai menata organisasi dengan adanya kelembagaan fungsi kepolisian yang bersifat otonom. Aspek kultural dilakukan perubahan menuju kepada polisi sipil (civilian police), yang menunjukkan bahwa pekerjaan polisi selalu berinteraksi dengan masyarakat atau komunitas sipil, jadi perilakunya harus disesuaikan dengan masyarakat sipil. Sekarang ini sudah ada perubahan kurikulum seperti di Akademi Kepolisian (AKPOL) dan Sekolah Polisi Negara (SPN), yaitu mata kuliah yang bersifat militer dikurangi, kecuali seperti latihan baris berbaris dan menembak memang masih diperlukan untuk melatih kedisiplinan dan profesionalisme. Sebagai gantinya diperbanyak mata kuliah yang mengandung profesi kepolisian, hukum, sosial dan HAM. Paradigma Baru Polri Dalami paradigma baru ini, Polri perlu melakukan perubahan perilaku militeristik menuju perilaku yang humanistik dan lebih berorientasi pada pelayanan masyarakat. Dengan perilaku tersebut diharapkan dapat terwujud tanggungjawab profesional (professional accountability) dan dipercaya masyarakat (public trust). Untuk mewujudkannya, selain peran pimpinan kepolisian juga komitmen semua anggota kepolisian. Kita dapat melihat paradigma lama Polri, yaitu tataran filosofi adalah sebagai patriot dan pejuang, tataran struktur dan kedudukan adalah tidak mandiri dan tidak otonom, tataran kultur adalah militeristik dan represif, tataran penampilan yaitu uniform dan militeristik, tataran kontrol tertutup dan sepihak, tataran peradilan dibawah militer dan tataran pendekatan bersifat reaktif dan otoriter. Dalam paradigma baru Polri yaitu tataran filosofi adalah mahir, trampil dan patuh hukum, tataran struktur dan kedudukan adalah mandiri dan otonom, tataran kultur adalah sipil dan pelayan, tataran penampilan yaitu polisi berseragam (uniform police) dan polisi tidak berseragam (plain cloth police), tataran kontrol adalah transparan dan akuntabilitas, tataran peradilan dibawah peradilan umum dan tataran pendekatan bersifat proaktif, demokratis, persuasif dan berperikemanusiaan (humane policing). Kebijakan Polri Ke Depan Kebijakan pembangunan Polri ke depan diarahkan menuju polisi sipil yang demokratis yaitu dengan mengembangkan strategi perpolisian masyarakat (polmas), yang mengadopsi dari konsep community policing. Robert R. Friedman menjelaskan bahwa community policing adalah kebijakan dan strategi yang bertujuan agar dapat mencegah terjadinya kejahatan secara efektif dan efisien, mengurangi kecemasan terhadap kejahatan, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kualitas pelayanan polisi dan kepercayaan terhadap polisi, dalam jalinan kerja sama yang proaktif dengan sumber daya masyarakat yang ingin mengubah berbagai kondisi penyebab kejahatan (Kunarto;2000). Dalam Skep Kapolri No.Pol. Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005, tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, disebutkan bahwa konsep polmas mencakup unsur perpolisian dan masyarakat. Perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata â€Å“policing” berarti segala hal tentang penyelenggaraan fungsi kepolisian. Masyarakat merupakan terjemahan dari kata â€Å“community” (komunitas), dalam konteks polmas berarti warga masyarakat yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya, seperti RT,RW, desa, pasar, dan kawasan industri. Dalam pengertian yang diperluas masyarakat dalam pendekatan polmas bisa meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah yang lebih luas seperti kecamatan, kota, masyarakat berdasar etnis dan agama. Polmas yaitu ide, gagasan atau model pemolisian yang berpihak kepada masyarakat, lebih proaktif menuju terwujudnya kerjasama yang efektif antara polisi dan masyarakat dalam suatu relasi kemitraan yang sejajar, serta mencari pemecahan masalah yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sumber daya manusia kepolisian yang terbatas, sehingga membutuhkan keikutsertaan masyarakat. Sasaran penerapan polmas adalah membangun Polri yang dapat dipercaya oleh masyarakat, dan membangun komunitas yang siap bekerjasama dengan Polri dalam meniadakan gangguan keamanan serta menciptakan ketentraman. Dirgahayu Polri semoga tetap jaya ! Penulis : Alumni Pasca Sarjana Kajian Ilmu Kepolisian Univ.Indonesia, bertugas di Biro Operasi Polda Sultra. ( Kendari Pos ) Hari Senin 22/09/2008 adalah hari yang istimewa, karena Fahmina kedatangan tamu dari International Labour Organisation (ILO), sebuah oraginsasi international yang knsen membela hak-hak buruh. Rombongan dari ILO ini adalah Irham dan Steven Schimdt dengan ditemani oleh Castra dari Forum Warga Buruh Migran Indonesia (FWBMI). Kedatangan ke Cirebon untuk melihat dari dekat, sejauh mana Perda-Perda yang diusung oleh lembaga-lembaga yang concern dengan advokasi korban trafiking dan Buruh Migran. Karena itu, selain ke Fahmina Institute, mereka juga berkunjung ke kantor Disnakertrans Kabupaten Cirebon. Pertemuan antara Fahmina dan ILO berlangsung hangat. Obeng, Ali Mursyid dan Alif menjelaskan profile Fahmina dari mulai pola kerja yang dilakukan, juga memaparkan kerja-kerja Fahmina selama ini dalam komitmennya menghapuskan trafiking. Diantaranya, kampanye anti trafiking melalui penerbitan buletin al-Basyar, penerbitan buku-buku bertemakan Anti Trafiking, majalah Blakasuta dan talkshow di radio-radio komunitas, dan seminar-seminar. Juga, pendampingan terhadap kasus-kasus trafiking. Steve, panggilan akrab Steven Schimdt menanyakan apakah kendala apa saja yang dihadapi kawan-kawan di Cirebon untuk mendesak diterbitkannya Perda Anti Trfaiking? Alif menyatakan bahwa JIMAT (Jaringan Masyarakat Anti Trafiking) sudah berupaya keras untuk melobi pihak legislatif tapi nggak lebih dari 3 anggota DPRD tersebut yang merespon dengan baik usulan kita, lebih tepat jika dibilang ”mereka tak acuh terhadap penyusunan raperda anti trafiking ini”, ungkapan itu langsung dibenarkan oleh Pak Castra. ”Pemda pun tak kalah gigih dalam mengemukakan alasan, stiap kali kita mendesak pengesahan raperda ini, dari mulai belum terdaftar di Kabag Hukum hingga belum terteranya anggaran penyusunan raperda trafiking dan raperda perlindungan TKI dalam APBD, sehingga harus menunggu tahun depan (baca: tahun 2009)”, tambah Alif. ”Saya tidak tahu kenapa mesti begitu lama untuk mengeshkan raperda ini, karena raperda anti trafiking ini sudah diusung dari tahun 2004, tapi kenyataannya proses berjalan sangat lambat. Apa pihak eksekutif dan legislatif yang memang acuh terhadap persoalan masyarakat ataukah memang kita yang belum maksimal mendorong itu, kalau perlu kita bikin strategi lagi untuk mendesak pemerintah daerah, jika memungkinkan kita gunakan aksi massa”, Kang Obeng memberi komentar. Di samping itu Ali mengemukakan beberapa kegiatan terakhir Fahmina terkait isyu trafiking, seperti program Polmas dan kerjasama Fahmina, NU dan Polres kab. Cirebon dalam menanggulangi kejahatan trafiking melalui rencana pembentukan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat. Sumber : Arifiyati
Hasil gambar untuk Studi Kasus pelanggaran HAM

Belakangan ini, isu trafiking sudah menjadi isu bersama baik pemerintah, LSM, ormas dan sebagainya. Dengan kemampuan yang dimilikinya, selama ini masing-masing lembaga melakukan kerja-kerja seperti pencegahan, penanganan kasus maupun medorong munculnya kebijakan-kebijakan ditingkat pemerintah. Namun demikian, dari kerja-kerja yang dilakukan terkadang antara satu lembaga dengan lainnya berjalan sendiri-sendiri. Sehingga saling tumpang-tindih antara satu dengan lainnya. Di sisi lain, persoalan yang seharusnya ditangani terkadang terabaikan, karena kesibukan masing-masing lembaga. Dalam hal ini, kiranya perlu ada mekanisme kerja jaringan serta sistem rujukan data dan kasus penanganan secara terpadu. Karena kejahatan trafiking merupakan kejahatan kemanusiaan yang membutuhkan penanganan bersama dan kerjasama antar multi stakeholder. Demikian beberapa persoalan yang mengemuka di “Pertemuan Jaringan Anti Trafiking” bertempat di Fahmina Training Centre Jalan Suratno No. 32 Kota Cirebon. Kegiatan yang dilaksanakan pada Selasa, 22 April 2008 ini, diikuti oleh 30 aktifis dari berbagai lembaga yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Anti Trafiking (JIMAT) Cirebon dan Satuan Gugus Tugas Anti Trafiking (SANTRI) Indramayu dan sejumlah perwakilan instansi pemerintah daerah terkait. Dalam pertemuan tersebut, sejumlah aktifis menyoroti lambannya penanganan kasus trafiking yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum di Indramayu dan Kabupaten Cirebon. Seperti yang diungkapkan oleh Masripah, dari FWBMI Indramayu, “meskipun Peraturan Daerah (Perda) Pelarangan Trafiking sudah ada di Indramayu, namun prakteknya aturan tinggal aturan, tapi aparatnya lempar tanggung jawab jika diminta bantuan menangani berbagai kasus trafiking atau buruh migran yang muncul di daerah tersebut”. Lebih lanjut Masripah menjelaskan bahwa aparat berwenang seringkali mengemukakan alasan klasik yaitu karena tidak adanya anggaran. Sri, dari WCC Balqis Arjawinangun, juga mengeluhkan soal komunikasi sesama anggota jaringan yang kadang saling lempar kasus, padahal korban butuh penanganan segera. Sri berharap melalui pertemuan jaringan seperti ini soal pembagian kerja bisa diagendakan, agar lebih banyak lagi kasus trafiking yang bisa ditangani. Castra, dari FWBMI (Forum Warga Buruh Migran Indoensia) Cirebon memandang perlunya penguatan kapasitas terhadap para aktifis dan petugas pendamping anti trafiking, dalam hal kemampuan paralegal, fundrising dan strategi sosialisasi. Di akhir pertemuan, untuk memperkuat sistem, efesiensi dan mekanisme kerja jaringan anti trafiking di Indramayu dan Kabupaten Cirebon, para peserta menyepakati perlu ada pertemuan jaringan lanjutan, untuk membahas soal kode etik jaringan. Sumber : Oleh Erlinus Thahar Sambung Rasa RRI Cirebon Bahas Soal Trafiking Ditulis oleh Administrator Wednesday, 25 February 2009 “Bagaimana pemerintah menanggapi banyaknya kasus-kasus trafiking yang ada“, tanya salah satu peserta acara Sambung Rasa sore itu (2/11). Pertanyaan tidak langsung diserahkan kepada para narasumber untuk dijawab, tetapi semua peserta yang hadir diberi kesempatan terlebih dahulu untuk menaggapi pertanyaan tersebut, sebelum akhirnya Mas Taufik, Sang Moderator, mempersilahkan Ali Mursid, sebagai narasumber dari Fahmina, untuk menjelaskan. Acara sambung rasa ini terselengara berkat kerjasama antara Radio Republik Indonesia (RRI) Cirebon dengan Fahmina Institute. Selain narasumber dari fahmina, acara ini juga menghadirkan narasumber dari Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID) Cirebon, yaitu Akbarudin Sutjipto, sekretaris KPAID. Kang Akbar, sapaan akrab Akbaruddin Sucipto, menyayangkan sikap pemerintah yang seolah hanya mengeruk harta dari para buruh migran Indonesia (BMI). Disisi lain mereka mengakui BMI sebagai pahlawan devisa-yang begitu banyak memberikan pendapatan bagi Negara melalui remittance-tapi tidak ada perhatian yang serius untuk menciptkan save migration bagi mereka, selama ini yang terjadi di Indonesia adalah hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, sungguh ironis. Pemerintah sudah membuat undang-undang Peraturan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), tinggal bagaimana sikap para penegak hukum dan semua pihak yang terkait berkomitmen untuk melaksanakannya. Beberapa peserta menganggap bahwa banyak orang Indonesia yang pergi ke luar negeri sebagai Buruh Migran bukan atas paksaan dari siapapun, tapi atas keinginannya sendiri. Mengenai hal ini, Kang Ali-begitu panggilan akrab untuk Ali Mursyid, menegaskan bahwa bekerja di luar negeri adalah hak setiap warga Negara Indonesia. Yang lebih penting adalah bagaiaman hak bekerja itu terjamin kemanan dan kenyamanannya. Program pencegahan dan penanganan trafiking bukanlah program yang melarang perempuan menjadi TKW. Ini berbeda dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pernah mengeluarkan fatwa bahwa perempuan haram jadi TKW. Fatwa haram biasanya disandarkan pada hadits yang artinya; “Perempuan dilarang pergi sendirian lebih dari 3 hari kecuali dengan mahram-nya”. Dosen Institute Study Islam Fahmina(ISIF) ini, juga menjelaskan bahwa saat ini mahram bisa diartikan sebagai perlindungan hukum. Untuk itulah Fahmina bersama jaringan mendorong untuk pemerintah daerah membuat perda trafiking sejak tahun 2004, walaupun di pemerintah kabupaten Cirebon belum juga digarap serius, kalau di Indramayu sudah dibuat perda trafiking, tinggal menunggu komitmen dari semua elemen masyarakat untuk mewujudkannya. Tak hanya itu, para peserta juga menanyakan tentang kemana harus melaporkan kasus trafiking, bagaimana menyikapi kasus trafiking dengan modus pengantin pesanan, juga kondisi masyarakat yang masih awam tentang trafiking walaupun berbagai bentuk sosialisasi sudah dilakukan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah, seperti Fahmina. Acara yang bertempat di kantor Fahmina Institute ini juga sedianya mengundang Bapak Kapolresta Cirebon, tapi beliau tidak hadir tanpa memberikan konfirmasi yang jelas. Hal itu, sangat disayangkan para peserta karena pihak Polresta sangat mereka nantikan untuk menjelaskan sejauh mana kepolisian, terutama kota Cirebon menangani kasus-kasus trafiking yang ada. Rupanya, perbincangan seputar trafiking memang sangat menarik, terbukti ketika diskusi telah ditutup oleh Sang Moderator, yang juga merupakan salah satu penyiar RRI, diskusi masih tetap hangat, “bicara trafiking, satu jam terasa sangat singkat” ungkap Victor salah seorang peserta. Sumber : Alifatul Arifiati Pelaku Trafiking Diganjar 4 Tahun Penjara, Jaksa Naik Banding Ditulis oleh Administrator Wednesday, 25 February 2009 Setelah kurang lebih setahun melewati proses hukum, kasus trafiking dengan korban Sn (19 tahun), In (27 tahun) dan Ya (22 tahun) warga Pecilon Kabupaten Cirebon, akhirnya telah sampai pada keputusan hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Cirebon. Melalui Majelis Hakim yang dipimpin oleh Rusyono SH, pada tanggal 5 mei 2008, terdakwa Su (46 tahun) dan Si (47 tahun) akhirnya dijatuhkan hukuman penjara masing-masing 4 dan 3 tahun potong tahanan. Ini jauh dibawah tuntutan jaksa penuntut umum sebesar 10 tahun penjara. Sementara tuntutan subsider, berupa restitusi (ganti rugi) ditolak majelis hakim, karena permohononan restitusi baru diajukan ketika sidang berlangsung. Tiga perempuan korban trafiking tersebut semula dibujuk oleh terdakwa dengan janji diberi pekerjaan bergaji besar di sebuah kafe di Lubuk Linggau. Kontan saja, korban yang memang lagi membutuhkan pekerjaan tanpa pikir panjang menerima tawaran tersebut. Apalagi terdakwa memberikan pinjaman masing-masing 1 juta rupiah sebelum berangkat untuk keperluan membeli pakaian, kosmetik dan sisanya diberikan ke keluarga yang ditinggalkan. Namun, ternyata impian korban akhirnya kandas. Mereka malah terjerat di sebuah sindikat pelacuran di KM 15 Lubuk Linggau, Sumatra Selatan, sebuah kawasan prostitusi cukup terkenal di Sumatra Selatan. Di lokasi tersebut, mereka dipaksa melayani puluhan lelaki tiap malam. Jika melawan, mereka disiksa dengan cara dipukul dan ditendang oleh mucikari mereka. Untunglah salah satu korban berhasil mengontak keluarganya di Cirebon. Mendengar kondisi tersebut, keluarga korban melapor ke Polres Cirebon. Bersama Fahmina institute, pihak Polres berupaya menjemput korban. Kemudian menjerat pelaku dengan UU No 21 tahun 2007 Pemberantasan Tindakan Pidana Perdagangan Orang. Setelah melalui proses peradilan berlangsung setahun lebih, kemudian dua orang pelaku kejahatan tersebut dijatuhi hukuman 4 dan 3 tahun, potong masa tahanan. Kurang puas dengan vonis tersebut, rencananya jaksa penuntut umum Nita SH mengajukan upaya naik banding.*** Sumber : Erlinus Thahar Magang Kerja, Modus Baru Trafficking Ditulis oleh Administrator Wednesday, 25 February 2009 Mereka baru beranjak dewasa. Semangat untuk menimba ilmu masih menggebu-gebu. Siapa sangka keseriusan 45 mahasiswa The Bandung Hotel School (TBHS) memperdalam ilmu pariwasata itu berujung kemalangan. Wajah-wajah belia dan lugu itu menjadi sasaran empuk sindikat trafficking untuk dikirim ke luar negeri sebagai tenaga kerja dengan kedok magang kerja. Awalnya para mahasiswa itu mengikuti praktik magang kerja sebagai salah satu persyaratan kurikulum TBHS. Namun, ada juga yang mengetahui lowongan itu melalui iklan di media massa Bandung. "Waktu itu saya lihat iklan di media massa. Iklan itu sebenarnya lowongan kerja, tapi berkedok management training," tutur Siti Sekar Nusantari, alumnus Shoreline College Seattle Amerika Serikat, kepada VHRmedia.com, Kamis (26/7). Gadis Cimahi yang akrab di panggil Sekar ini tentu tidak menyangka karier pendidikannya berakhir seperti ini. Dia diminta membayar Rp 4,5 juta dengan alasan untuk keperluan administrasi seperti paspor dan surat-surat lainnya. "Saya berangkat sebulan lalu dan bekerja di sebuah travel agent. Tapi saya kecewa karena merasa dibohongi dengan izin yang bermasalah," ujarnya. Nasib Sekar mungkin berbeda dari nasib Asep Suhardi. Pria kelahiran 23 Februari 1987 itu masih terdaftar sebagai mahasiswa semester I The Bandung Hotel School. Seperti proses kuliah pada umumnya, menurut Asep, tiga bulan pertama dia mendapatkan teori dan tiga bulan berikutnya praktik. Dia terpaksa mengikuti job training di Malaysia untuk menyelesaikan pendidikan D1. Di Malaysia, Asep dipekerjakan di rumah makan pinggir jalan, Restoran Nasi King Briyani. "Saya berangkat tanggal 31 Mei, ditangkap 27 Juni malam. Tanpa ada pertanyaan apa-apa, polisi bawa borgol langsung merantai dan menyeret kami ke mobil. Selanjutnya lima hari ditahan di Camp Putra Jaya," tuturnya. Di penampungan itu Asep tidak bisa menghubungi siapa pun, bahkan orang-orang terdekat sekalipun. Kemudian dia dipindahkan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur. "Harapan saya waktu itu hanya ingin cari pengalaman di luar negeri. Rata-rata kami bekerja 16 jam. Masuk pukul 8 pagi keluar 12 malam," kenangnya. Penangkapan pendatang di Malaysia memang tidak mengenal jenis kelamin dan usia. Mita Puspapani mengalami nasib buruk itu. "Saya ikut ditangkap juga waktu itu," katanya. Gadis semester IV TBHS ini dipekerjakan tidak sesuai dengan yang dijanjikan pihak sekolah. Dara asal Cimahi ini dijanjikan bekerja dengan posisi supervisor training. Nyatanya dia dipekerjakan sebagai waitress di Robert Harrus Endless Coffe & Cuisine. Ketua Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan WNI KBRI di Malaysia, Tatang B Razak, mengatakan kasus ini terbongkar berawal dari SMS seorang siswa SMK di Bogor kepada petugas KBRI pada 6 Juli 2007. Pesan singkat korban eksploitasi yang diselamatkan KBRI pada April 2007 itu memberitahukan temannya yang sedang on the job training ditangkap Imigrasi Malaysia. "Kami sudah membongkar (kasus trafficking) tiga kali. Setelah SMS itu dikembangkan, kami menemukan 18 orang ditahan di Imigrasi. Ketika tim KBRI melihat ke sana, mereka ada yang dirantai dan memakai baju tahanan," kata Tatang yang mendampingi para korban pulang di Bandara Soekarno Hatta, Kamis (26/7). Tatang menyayangkan tindakan sekolah yang sengaja mengeksploitasi para pelajar. Program tersebut ternyata dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi dan tidak melalui prosedur yang seharusnya. "Mereka mengikuti program ini sebagai bagian dari kurikulum. Tapi visa yang diurus visa turis, bukan visa on the job training. Mereka juga tidak mempunyai program, karena ada beberapa yang dipekerjakan tidak sesuai dengan bidangnya. Ada yang dipekerjakan di restoran biasa di pinggir jalan dengan 16 jam kerja. Apa itu on the job training? Ini jelas eksploitasi," ujarnya. Karena sering terjadi kasus semacam itu, KBRI mengimbau agar program praktik kerja industri segera ditertibkan. Sebab, banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia yang mengikuti on the job training di luar negeri, namun mereka di eksploitasi. "Kami tidak tahu mengenai hal ini dan baru tahu setelah ada kejadian. Kami minta segenap masyarakat untuk bekerja sama membongkar kasus ini," kata Tatang. Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri menyatakan kasus ekslpoitasi pelajar dan mahasiswa Indonesia berkedok on the job training merupakan modus operandi baru. "Seolah-olah mereka akan dijadikan siswa magang, padahal di sana dipekerjakan," kata Bambang di Mabes Polri. Dia mengatakan langkah-langkah hukum telah dilakukan terkait dengan praktik pengiriman pelajar ini. Brigjen Pol Mathius Salempang, Kepala Biro Analisis dan Pengkajian Kejahatan Antarnegara Mabes Polri, menginformasikan sudah menahan 3 tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Priyanto Esty Hartono (Direktur TBHS); Widy selaku agen penempatan on the job training di Malaysia; dan Zubaedah alias Nurul yang membantu Widy menempatkan mahasiswa di beberapa hotel dan restoran di Malaysia. Menurut Mathius, di Malysia para siswa itu disuruh menandatangani kontrak kerja 3 bulan pertama dengan gaji 350 ringgit untuk 8 jam kerja setiap hari dan 3 bulan berikutnya akan digaji 450 ringgit dengan 12 jam kerja. "Ini jelas masuk kategori trafficking, karena ada unsur kesengajaan dan mencari keuntungan dengan tidak dilengkapi dokumen," katanya. Banyaknya kasus trafficking di tanah air membuat masyarakat resah. Apalagi selalu muncul modus operandi baru. Perlu keseriusan semua pihak untuk mencegah praktik itu. Paling tidak agar nasib pelajar Indonesia tidak berakhir di tangan sindikat perdagangan manusia. Sumber : Kurniawan Tri Yunanto Ditulis oleh Administrator Tuesday, 24 February 2009 HUT Bhayangkara, Momentum Pembangunan Polri di Era Kebangkitan Nasional Oleh: Yuyun Yudhantara Pasca runtuhnya Orde Baru, Polri adalah salah satu institusi negara yang sering mendapat sorotan dan kritikan tajam dari seluruh lapisan masyarakat. Polri masih sering dianggap kurang dapat melindungi masyarakat atau lemah dalam menegakkan hukum. Ada juga perilaku oknum anggota Polri yang menyimpang seperti masih menggunakan cara kekerasan terhadap masyarakat, mengkonsumsi narkoba, pungli dan memeras. Hal ini menandakan bahwa profesionalisme dan kepercayaan masyarakat terhadap polisi belum sepenuhnya terwujud. Di tengah sorotan dari berbagai kalangan, Polri berhasil memberantas berbagai bentuk kejahatan di masyarakat seperti terorisme, narkoba, korupsi, perjudian, pembalakan hutan dan penyelundupan. Khusus pemberantasan terorisme, kepolisian mendapat apresiasi dari berbagai pihak di dalam maupun luar negeri. Di usia yang ke-62 ini, Polri telah berupaya merubah perilaku sesuai paradigma baru Polri dan berfungsi sebagai instrumen negara yang dipercaya masyarakat dalam era kebangkitan nasional? Pertanyaan ini mendorong kita untuk lebih dekat memahami sejarah dan proses reformasi Polri serta arah kebijakan Polri ke depan. Lintasan Sejarah Polri Zaman Hindia Belanda tahun 1800-1942, kepolisian secara administratif berada di Departemen Dalam Negeri yaitu kantor Hoofd van Dienst der Algemene Politie yang hanya bertugas di bidang administrasi seperti kepegawaian, pendidikan , perlengkapan dan pengawasan. Sedangkan untuk operasionalnya dipertanggungjawabkan kepada Jaksa Agung (procureur generaal). Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, pengorganisasian kepolisian disesuaikan dengan organisasi militer. Dibentuk departemen sendiri yang disebut Keimubu. Pusat kepolisian di Jakarta dinamakan keisatsu bu. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, maka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) yang berkedudukan di Departemen Dalam Negeri tanggal 19 Agustus 1945. Pada tanggal 29 September 1945, Presiden Soekarno melantik Kepala Kepolisian Negara R.I. pertama yaitu Jenderal Polisi R.S.Soekanto. Tanggal 1 Juli 1946 keluar Penetapan Pemerintah Nomor 11/ SD/1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara yang yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Semua fungsi kepolisian disatukan dalam Djawatan Kepolisian Negara, dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia yang diperingati sebagai Hari Bhayangkara (Awaloedin Djamin ;1995). Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) keluar Tap Presiden RIS No.150, tanggal 7 Juni 1950, bahwa organisasi-organisasi kepolisian negara-nagara bagian disatukan dalam Djawatan Kepolisian Indonesia. Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok Kepolisian No.13/1961 yang menyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL,dan AU. Masa Orde Baru setelah peristiwa G30S/PKI, keluar SK Presiden No.132/1967 tanggal 24 Agustus 1967, ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD,AL,AU dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan. Pasa masa reformasi, keluar Inpres No.2/1999 tanggal 1 April 1999 yang memisahkan Polri dan TNI,untuk sementara Polri diletakkan di bawah Menteri Pertahanan dan Keamanan. Pada HUT Bhayangkara 1 Juli 2000, dikeluarkan Keppres No.89/2000 yang melepaskan Polri dari Dephan dan menetapkan langsung di bawah Presiden.Kemudian adanya TAP MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menetapkan pemisahan Polri dan TNI, serta TAP MPR No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri. Reformasi Polri Sesuai tuntutan demokrasi dalam masyarakat madani (civil society) ini, perubahan terus dilaksanakan oleh Polri. Kinerja kepolisian adalah melindungi dan melayani (to protect and to serve) bukan membunuh atau dibunuh (to kill or to be kill), untuk itu Polri mencanangkan tiga aspek perubahan yaitu instrumental, struktural dan kultural. Dari aspek instrumental yaitu adanya UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI, secara tegas dinyatakan bahwa Polri bertugas sebagai penegak hukum, pelindung, pelayan,dan pengayom masyarakat serta prinsip menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Aspek struktural, Polri mulai menata organisasi dengan adanya kelembagaan fungsi kepolisian yang bersifat otonom. Aspek kultural dilakukan perubahan menuju kepada polisi sipil (civilian police), yang menunjukkan bahwa pekerjaan polisi selalu berinteraksi dengan masyarakat atau komunitas sipil, jadi perilakunya harus disesuaikan dengan masyarakat sipil. Sekarang ini sudah ada perubahan kurikulum seperti di Akademi Kepolisian (AKPOL) dan Sekolah Polisi Negara (SPN), yaitu mata kuliah yang bersifat militer dikurangi, kecuali seperti latihan baris berbaris dan menembak memang masih diperlukan untuk melatih kedisiplinan dan profesionalisme. Sebagai gantinya diperbanyak mata kuliah yang mengandung profesi kepolisian, hukum, sosial dan HAM. Paradigma Baru Polri Dalami paradigma baru ini, Polri perlu melakukan perubahan perilaku militeristik menuju perilaku yang humanistik dan lebih berorientasi pada pelayanan masyarakat. Dengan perilaku tersebut diharapkan dapat terwujud tanggungjawab profesional (professional accountability) dan dipercaya masyarakat (public trust). Untuk mewujudkannya, selain peran pimpinan kepolisian juga komitmen semua anggota kepolisian. Kita dapat melihat paradigma lama Polri, yaitu tataran filosofi adalah sebagai patriot dan pejuang, tataran struktur dan kedudukan adalah tidak mandiri dan tidak otonom, tataran kultur adalah militeristik dan represif, tataran penampilan yaitu uniform dan militeristik, tataran kontrol tertutup dan sepihak, tataran peradilan dibawah militer dan tataran pendekatan bersifat reaktif dan otoriter. Dalam paradigma baru Polri yaitu tataran filosofi adalah mahir, trampil dan patuh hukum, tataran struktur dan kedudukan adalah mandiri dan otonom, tataran kultur adalah sipil dan pelayan, tataran penampilan yaitu polisi berseragam (uniform police) dan polisi tidak berseragam (plain cloth police), tataran kontrol adalah transparan dan akuntabilitas, tataran peradilan dibawah peradilan umum dan tataran pendekatan bersifat proaktif, demokratis, persuasif dan berperikemanusiaan (humane policing). Kebijakan Polri Ke Depan Kebijakan pembangunan Polri ke depan diarahkan menuju polisi sipil yang demokratis yaitu dengan mengembangkan strategi perpolisian masyarakat (polmas), yang mengadopsi dari konsep community policing. Robert R. Friedman menjelaskan bahwa community policing adalah kebijakan dan strategi yang bertujuan agar dapat mencegah terjadinya kejahatan secara efektif dan efisien, mengurangi kecemasan terhadap kejahatan, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kualitas pelayanan polisi dan kepercayaan terhadap polisi, dalam jalinan kerja sama yang proaktif dengan sumber daya masyarakat yang ingin mengubah berbagai kondisi penyebab kejahatan (Kunarto;2000). Dalam Skep Kapolri No.Pol. Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005, tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, disebutkan bahwa konsep polmas mencakup unsur perpolisian dan masyarakat. Perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata â€Å“policing” berarti segala hal tentang penyelenggaraan fungsi kepolisian. Masyarakat merupakan terjemahan dari kata â€Å“community” (komunitas), dalam konteks polmas berarti warga masyarakat yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya, seperti RT,RW, desa, pasar, dan kawasan industri. Dalam pengertian yang diperluas masyarakat dalam pendekatan polmas bisa meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah yang lebih luas seperti kecamatan, kota, masyarakat berdasar etnis dan agama. Polmas yaitu ide, gagasan atau model pemolisian yang berpihak kepada masyarakat, lebih proaktif menuju terwujudnya kerjasama yang efektif antara polisi dan masyarakat dalam suatu relasi kemitraan yang sejajar, serta mencari pemecahan masalah yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sumber daya manusia kepolisian yang terbatas, sehingga membutuhkan keikutsertaan masyarakat. Sasaran penerapan polmas adalah membangun Polri yang dapat dipercaya oleh masyarakat, dan membangun komunitas yang siap bekerjasama dengan Polri dalam meniadakan gangguan keamanan serta menciptakan ketentraman. Dirgahayu Polri semoga tetap jaya ! Penulis : Alumni Pasca Sarjana Kajian Ilmu Kepolisian Univ.Indonesia, bertugas di Biro Operasi Polda Sultra. ( Kendari Pos ) Hari Senin 22/09/2008 adalah hari yang istimewa, karena Fahmina kedatangan tamu dari International Labour Organisation (ILO), sebuah oraginsasi international yang knsen membela hak-hak buruh. Rombongan dari ILO ini adalah Irham dan Steven Schimdt dengan ditemani oleh Castra dari Forum Warga Buruh Migran Indonesia (FWBMI). Kedatangan ke Cirebon untuk melihat dari dekat, sejauh mana Perda-Perda yang diusung oleh lembaga-lembaga yang concern dengan advokasi korban trafiking dan Buruh Migran. Karena itu, selain ke Fahmina Institute, mereka juga berkunjung ke kantor Disnakertrans Kabupaten Cirebon. Pertemuan antara Fahmina dan ILO berlangsung hangat. Obeng, Ali Mursyid dan Alif menjelaskan profile Fahmina dari mulai pola kerja yang dilakukan, juga memaparkan kerja-kerja Fahmina selama ini dalam komitmennya menghapuskan trafiking. Diantaranya, kampanye anti trafiking melalui penerbitan buletin al-Basyar, penerbitan buku-buku bertemakan Anti Trafiking, majalah Blakasuta dan talkshow di radio-radio komunitas, dan seminar-seminar. Juga, pendampingan terhadap kasus-kasus trafiking. Steve, panggilan akrab Steven Schimdt menanyakan apakah kendala apa saja yang dihadapi kawan-kawan di Cirebon untuk mendesak diterbitkannya Perda Anti Trfaiking? Alif menyatakan bahwa JIMAT (Jaringan Masyarakat Anti Trafiking) sudah berupaya keras untuk melobi pihak legislatif tapi nggak lebih dari 3 anggota DPRD tersebut yang merespon dengan baik usulan kita, lebih tepat jika dibilang ”mereka tak acuh terhadap penyusunan raperda anti trafiking ini”, ungkapan itu langsung dibenarkan oleh Pak Castra. ”Pemda pun tak kalah gigih dalam mengemukakan alasan, stiap kali kita mendesak pengesahan raperda ini, dari mulai belum terdaftar di Kabag Hukum hingga belum terteranya anggaran penyusunan raperda trafiking dan raperda perlindungan TKI dalam APBD, sehingga harus menunggu tahun depan (baca: tahun 2009)”, tambah Alif. ”Saya tidak tahu kenapa mesti begitu lama untuk mengeshkan raperda ini, karena raperda anti trafiking ini sudah diusung dari tahun 2004, tapi kenyataannya proses berjalan sangat lambat. Apa pihak eksekutif dan legislatif yang memang acuh terhadap persoalan masyarakat ataukah memang kita yang belum maksimal mendorong itu, kalau perlu kita bikin strategi lagi untuk mendesak pemerintah daerah, jika memungkinkan kita gunakan aksi massa”, Kang Obeng memberi komentar. Di samping itu Ali mengemukakan beberapa kegiatan terakhir Fahmina terkait isyu trafiking, seperti program Polmas dan kerjasama Fahmina, NU dan Polres kab. Cirebon dalam menanggulangi kejahatan trafiking melalui rencana pembentukan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat. Sumber : Arifiyati

SESI 5

SESI 5

Hasil gambar untuk Pembentukan Pengadilan HAM
Pada sesi ini siswa akan belajar Proses Penegakan HAM di Indonesia
Untuk menegakan HAM di Indonesia dilakukan dengan cara-cara antara lain:
  1. 1.        Pembentukan Pengadilan HAM
Pengadilan HAM dibentuk sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000. Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat yang diharapkan dapat melindungi HAM baik perorangan atua masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman, baik perseorangan atau masyarakat.
Yang termasuk HAM berat adalah:
  1. Kejahatan genoicide adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok, bangsa, ras, kelompok etnis, atau kelompok agama dengan cara:
    1. Membunuh anggota kelompok
    2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok
    3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya
    4. Memaksakan tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu kepada kelompok lain.
    5. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik, yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Perkara pelanggaran HAM berat dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Acara Pidana. Penyidikan dilakukan oleh Jaksa, penangkapan dilakukan oleh Jaksa Agung dengan disertai surat perintah dan alasan penagkapan, kecuali tertangkap tangan. Adapun penyelidikan terhadap pelanggaran Ham yang berat dilakukan oleh Komnas HAM.
  1. 2.        Pelaksanaan Penegakan HAM dalam Masyarakat, Bagsa, dan Negara
Dalam masayrakat perlu ditegakan norma yang mencerminkan keadilan dan perlindungan hak warga masyarakat. Apabila terdapat permasalahan dalam masyarakat, hendaknya cara yang diterapkan dalam mengatasinya dengan mengutamakan kekeluargaan dan komunikasi yang intensif. Sehingga tidak terjadi eigenrichting atau main hakim sendiri.
`Pengadilan HAM ad hoc berada di lingkungan Pengadilan Umum. Untuk pertama kali pada saat UU ini berlaku dibentuk Pengadilan HAM di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, Makasar. UU tentang Pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000 ini diundangkan tanggal 23 November 2000 dan dituangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2000 No. 208.
  1. 3.        Pelaksanaan Pengadilan HAM
Misalnya dalam kasus penjatuhan hukuman terhadap AKBP Hulman Goultom, mantan Kapolres Dili di jatuhi hukuman 3 tahun penjara oleh Pengadilan Ad Hoc, Jakpus. Dimana terdakwa dinilai terbukti tidak melakukan pencegahan dan gagal melakukan pengendalian terhadap penyerangan yang dilakukan massa pro integrasi pada sebelum dan sesudah jejak pendapat di Timor Timur.
Apakah  pembunuhan di G-30SPKI termasuk pelanggaran HAM ?  baca juga Disini
    
Hasil gambar untuk Pembentukan Pengadilan HAM
Pada sesi ini siswa akan belajar Proses Penegakan HAM di Indonesia
Untuk menegakan HAM di Indonesia dilakukan dengan cara-cara antara lain:
  1. 1.        Pembentukan Pengadilan HAM
Pengadilan HAM dibentuk sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000. Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat yang diharapkan dapat melindungi HAM baik perorangan atua masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman, baik perseorangan atau masyarakat.
Yang termasuk HAM berat adalah:
  1. Kejahatan genoicide adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok, bangsa, ras, kelompok etnis, atau kelompok agama dengan cara:
    1. Membunuh anggota kelompok
    2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok
    3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya
    4. Memaksakan tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu kepada kelompok lain.
    5. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik, yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Perkara pelanggaran HAM berat dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Acara Pidana. Penyidikan dilakukan oleh Jaksa, penangkapan dilakukan oleh Jaksa Agung dengan disertai surat perintah dan alasan penagkapan, kecuali tertangkap tangan. Adapun penyelidikan terhadap pelanggaran Ham yang berat dilakukan oleh Komnas HAM.
  1. 2.        Pelaksanaan Penegakan HAM dalam Masyarakat, Bagsa, dan Negara
Dalam masayrakat perlu ditegakan norma yang mencerminkan keadilan dan perlindungan hak warga masyarakat. Apabila terdapat permasalahan dalam masyarakat, hendaknya cara yang diterapkan dalam mengatasinya dengan mengutamakan kekeluargaan dan komunikasi yang intensif. Sehingga tidak terjadi eigenrichting atau main hakim sendiri.
`Pengadilan HAM ad hoc berada di lingkungan Pengadilan Umum. Untuk pertama kali pada saat UU ini berlaku dibentuk Pengadilan HAM di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, Makasar. UU tentang Pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000 ini diundangkan tanggal 23 November 2000 dan dituangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2000 No. 208.
  1. 3.        Pelaksanaan Pengadilan HAM
Misalnya dalam kasus penjatuhan hukuman terhadap AKBP Hulman Goultom, mantan Kapolres Dili di jatuhi hukuman 3 tahun penjara oleh Pengadilan Ad Hoc, Jakpus. Dimana terdakwa dinilai terbukti tidak melakukan pencegahan dan gagal melakukan pengendalian terhadap penyerangan yang dilakukan massa pro integrasi pada sebelum dan sesudah jejak pendapat di Timor Timur.
Apakah  pembunuhan di G-30SPKI termasuk pelanggaran HAM ?  baca juga Disini
    

SESI 4

SESI 4

Hasil gambar untuk Menegakkan HAM

Pada sesi kali ini, siswa akn belajar tentang Konsekuensi jika suatu negara tidak Menegakkan HAM dan Sanksi Internasional atas Pelanngaran HAM
  1. 1.    Konsekuensi jika suatu negara tidak Menegakkan HAM
Apabila suatu negara tidak mempunyai kemampuan dan kepedulian untuk menegakkan dan melindungi HAM akan menerima konsekuensi dari dalam negeri maupun dalam hubungannya dengan negara lain.
Konsekuensi dari dalam negeri, yakni kepercayaan warga negara terhadap pemerintah akan pudar dan merosot serta menimbulkan sikap apatis terhadap pemerintahannya sendiri. Dalam suatu negara demokrasiyang sistemnnya berlaku secara normal maka akan timbul usaha-usaha untuk mengganti pemerintahan secara konstitusional.
Apabila suatu negara dianggap tidak mampu menangani pelanggaran dan perilaku kejahatan Internasional, maka akan terjadi kemerosotan dan kepercayaan terhadap negara tersebut. Kesungguhan dan keseriusan penanganan pelanggaran hukum dan HAM manusia termasuk salah satu penilaian terhadap kreadibilitas negara itu di mata dunia. Kemerosotan dan menurunnya kepercayaan dunia terhadap suatu negara, akan berdampak pada penguculan kerjasama internasional negara yang bersangkutan dan pada akhirnya akan berdampak pada:
  1. Memperbesar pengangguran
  2. Memperlemah daya beli masyarakat
  3. Memperbesar jumlah anggota masyarakat miskin.
  4. Memperkecil income/ pendapatan nasional
  5. Merosotnya tingkat kehidupan masyarakat
  6. Kesulitan  memperoleh bantuan dan mitra kerja negara asing.
  1. 2.        Sanksi Internasional atas pelanggaran HAM
Adapun sanksi yang biasa di terpkan bagi negara pelanggar HAM antara lain:
  1. Diberlakukan travel warning (peringatan bahaya berkunjung ke negara tertentu) terhadap warga negaranya.
Ini akan berakibat langsung seperti wisatawan menjadi sepi dan juga terjadi penundaan berbagai transaksi dagang, dan hal ini akan merugikannya.
  1. Pengalihan Investasi atau penanaman modal asing.
Hal ini akan menghambat pembangunan ekonomi dan perdagangan di negara tersebut. Stabilitas keamanan yang baik akan menjadikan rasa aman penanam modal di suatu negara.

"Read More in here

  1. Pemutusan hubungan diplomatik
Lazimnya hal itu dimulai dari pengurangan jumlah korps diplomatik dan disusul pengurangan berbagai aktivitas kedutaan, maka akan sampai terjadi pemutusan hubungan diplomatik secara total. Pelaksanaan proses pemutusan hubungan diplomatik ini berlaku asas resiprositas, yakni asas timbal balik.
  1. Pengurangan bantuan ekonomi
Dapat dilakukan secara sendiri-sendir oleh suatu negara atau mengajak negara-negara dalam suatu komunitas atau organisasi regional yang bergerak di bidang ekonomi untuk mengurangi bantuan terhadap negar tersebut.
  1. Pengurangan tingkat kerjasama
Pengurangan kerja sama antar negara sering menjadi indikasi adanya ketidakcocokan dalam hubungan antar negara. Sebaliknya, semakin tinggi intensitas dan variasi kerja sama antar negara dapat menjadi indikasi akrabnya hubungan dan kerjasama antar negara.
  1. Pemboikotan Produk Ekspor
Ketidaksenangan pemerintah suatu negara dapat dimanifestasikan dalam bentuk penolakan terhadap produk industri atau barang perdagangan dari negara tertentu. Secara teknis dapat dilakukan tindakan proteksi dengan cara legal formal menaikkan tarif pajak masuk bagi barang dagangan dari negara lain.
  1. Embargo ekonomi
Embargo ekonomi adalah suatu upaya untuk menekan suatu negara yang dianggap menentang keputusan atau kebijakan bersama. Yakni, dengan cara melarang masuknya berbagai barang yang dianggap perlu, agar negara yang diembargo mengubah kebijakan nasionalnya sesuai dengan keinginan negara pengembargo.
  1. Kesepakatan organisasi regional/ internasional
Apabila suatu negara dianggap telah melanggar kesepakatan (konvensi) internasional termasuk pelanggaran HAM, organisasi regional atau internasional dapat menetapkan sanksi sebagai reaksi atas pelanggaran tersebut.
Hasil gambar untuk Menegakkan HAM

Pada sesi kali ini, siswa akn belajar tentang Konsekuensi jika suatu negara tidak Menegakkan HAM dan Sanksi Internasional atas Pelanngaran HAM
  1. 1.    Konsekuensi jika suatu negara tidak Menegakkan HAM
Apabila suatu negara tidak mempunyai kemampuan dan kepedulian untuk menegakkan dan melindungi HAM akan menerima konsekuensi dari dalam negeri maupun dalam hubungannya dengan negara lain.
Konsekuensi dari dalam negeri, yakni kepercayaan warga negara terhadap pemerintah akan pudar dan merosot serta menimbulkan sikap apatis terhadap pemerintahannya sendiri. Dalam suatu negara demokrasiyang sistemnnya berlaku secara normal maka akan timbul usaha-usaha untuk mengganti pemerintahan secara konstitusional.
Apabila suatu negara dianggap tidak mampu menangani pelanggaran dan perilaku kejahatan Internasional, maka akan terjadi kemerosotan dan kepercayaan terhadap negara tersebut. Kesungguhan dan keseriusan penanganan pelanggaran hukum dan HAM manusia termasuk salah satu penilaian terhadap kreadibilitas negara itu di mata dunia. Kemerosotan dan menurunnya kepercayaan dunia terhadap suatu negara, akan berdampak pada penguculan kerjasama internasional negara yang bersangkutan dan pada akhirnya akan berdampak pada:
  1. Memperbesar pengangguran
  2. Memperlemah daya beli masyarakat
  3. Memperbesar jumlah anggota masyarakat miskin.
  4. Memperkecil income/ pendapatan nasional
  5. Merosotnya tingkat kehidupan masyarakat
  6. Kesulitan  memperoleh bantuan dan mitra kerja negara asing.
  1. 2.        Sanksi Internasional atas pelanggaran HAM
Adapun sanksi yang biasa di terpkan bagi negara pelanggar HAM antara lain:
  1. Diberlakukan travel warning (peringatan bahaya berkunjung ke negara tertentu) terhadap warga negaranya.
Ini akan berakibat langsung seperti wisatawan menjadi sepi dan juga terjadi penundaan berbagai transaksi dagang, dan hal ini akan merugikannya.
  1. Pengalihan Investasi atau penanaman modal asing.
Hal ini akan menghambat pembangunan ekonomi dan perdagangan di negara tersebut. Stabilitas keamanan yang baik akan menjadikan rasa aman penanam modal di suatu negara.

"Read More in here

  1. Pemutusan hubungan diplomatik
Lazimnya hal itu dimulai dari pengurangan jumlah korps diplomatik dan disusul pengurangan berbagai aktivitas kedutaan, maka akan sampai terjadi pemutusan hubungan diplomatik secara total. Pelaksanaan proses pemutusan hubungan diplomatik ini berlaku asas resiprositas, yakni asas timbal balik.
  1. Pengurangan bantuan ekonomi
Dapat dilakukan secara sendiri-sendir oleh suatu negara atau mengajak negara-negara dalam suatu komunitas atau organisasi regional yang bergerak di bidang ekonomi untuk mengurangi bantuan terhadap negar tersebut.
  1. Pengurangan tingkat kerjasama
Pengurangan kerja sama antar negara sering menjadi indikasi adanya ketidakcocokan dalam hubungan antar negara. Sebaliknya, semakin tinggi intensitas dan variasi kerja sama antar negara dapat menjadi indikasi akrabnya hubungan dan kerjasama antar negara.
  1. Pemboikotan Produk Ekspor
Ketidaksenangan pemerintah suatu negara dapat dimanifestasikan dalam bentuk penolakan terhadap produk industri atau barang perdagangan dari negara tertentu. Secara teknis dapat dilakukan tindakan proteksi dengan cara legal formal menaikkan tarif pajak masuk bagi barang dagangan dari negara lain.
  1. Embargo ekonomi
Embargo ekonomi adalah suatu upaya untuk menekan suatu negara yang dianggap menentang keputusan atau kebijakan bersama. Yakni, dengan cara melarang masuknya berbagai barang yang dianggap perlu, agar negara yang diembargo mengubah kebijakan nasionalnya sesuai dengan keinginan negara pengembargo.
  1. Kesepakatan organisasi regional/ internasional
Apabila suatu negara dianggap telah melanggar kesepakatan (konvensi) internasional termasuk pelanggaran HAM, organisasi regional atau internasional dapat menetapkan sanksi sebagai reaksi atas pelanggaran tersebut.

SESI 3

SESI 3

Hasil gambar untuk Menegakkan HAM

Di sesi ini siswa akan belajar tentang Pelanggaran dan Proses Peradilan Hak Asasi Manusia Internasional dan penjelasan tambahan terkait dengan proses peradilan HAM Internasional
  1. 1.        Pelanggaran Hak Asasi Manusia Internasional
Penjahat perang dalam kasus PD I dan PD II, secara individu, mereka yang diduga kuat dan di dukung sejumlah bukti, didakwa melakukan kejahatan kemanusiaan (humanity crimes), kejahatan perang (war crimes), diadili dalam suatu pengadilan internasional yang dibentuk khusus di negara tertentu yang bersifat sementara (pengadilan ad hoc). Setelah selesainya pelaksanaan pengadilan ad hoc ini terus di bubarkan. Banyak terjadi bahwa pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang dinilai oleh masyarakat internasional serius (seperti Polpot di Kamboja, Idi Amin di Uganda, dan sebagainya), ternyata luput dari pertanggungjawaban individu atas segala kejahatan yang mereka lakukan, baik di depan sidang Pengadilan Nasional maupun di depan Mahkamah Pidana Internasional.
  1. 2.        Peradilan terhadap Pelanggar HAM Internasional
     Perkembangan terakhir hukum pidana Internasional adalah disepakatinya pembentukan International Crime Court (ICC) dalam suatu sidang United Nations Diplomatic Conference on Criminal Court, 17 Juni 1998 di Roma (Italia). Dengan disahkannya ICC sebagai badan baru di lingkungan PBB, terwujudlah suatu badan peradilan internasional yang bersifat tetap (permanen). Badan ini mempunyai kekuasaan untk melaksanakan yurisdiksinya atas seseorang yang melakukan kejahatan- kejahatan yang sangat serius. Dalam konferensi diplomatik PBB mengenai Pengadilan Kejahatan, disepekati bahwa kejahatan-kejahatan itu adalah:
  1. The Crime of genocide (permusuhan massal terhadap kelompok etnis atau penganut agama tertentu).
  2. Crime against humanity (kejahatan melawan kemanusiaan).
  3. War Crimes (kejahatan perang).
  4. The crime of aggression (penyerangan suatu bangsa atau negara terhadap bangsa atau negara lain).
  1. 3.        Patokan atau Ukuran menentukan Unwillingness
Patokan yang dapat menentuka suatu negara berada dalam keadaan enggan atau unwillingness melakukan penentuan yang disepakati dan diakui oleh masyarakat internasional di dasarkan pada pasal 17 Statuta ICC. Menurut ketentuan ini, landasan yang menentukan keengganan di dasarkan pada prinsip-prinsip hukum acara (due process) yang diakui oleh hukum international. Prinsip itu adalah sebagai berikut
  1. Persidangan atau putusan yang diambil negara yang bersangkutan denngan maksud melindungi pelaku dari tanggung jawab pidana.
  2. Adanya penundaan yang tidak sah dalam pemeriksaan dan tidak konsisten dengan tujuan mengadilli pelaku untuk menegakkan keadilan.
  3. Peradilan yang dilakukan tidak mandiri atau tidak konsisten untuk mengadili pelaku.
  4. 4.        Patokan atau Ukuran Unabillity
     Menurut ketentuan Pasal 17 ayat (3) Statuta ICC, yang menjadi dasar pembentukan Yugoslavia dan Rwanda Tribunal, suatu negara dianggap berada dalam kondisi tidak mampu menyelesaikan suatu perkara, apabila secara total atau sebagian atau sama sekali sistem peradilan pidana negaranya tidak dapat menjalankan tugas dan kewenangannya.

Baca Juga ' seputar masalah kesehatan dan solusinya di sini

  1. 5.        Pengertian Kejahatan yang Serius
     Pasal 5 Satuta ICC menggariskan bahwa pada dasarnya menjadi yurisdiksi tribunal bercorak internasional terdiri atas genoicide, kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againtshumanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crimes agression). Apabila jenis kejahatan tersebut sangat serius sehingga membawa keprihatinan masyarakat internasional, barulah pantas menjadi wilayah penanganan yurisdiksi internasional.
  1. 6.        Asas Nebis in idem
     Sesuai dengan asas nebis in idem, artinya tiada seorang pun diadili untuk kedua kalinya mengenai peristiwa pidana yang sama. Apabila putusan yang dijatuhkan kepadanya bersifat positif, dalam bentuk dijatuhi hukuman atau dibebaskan dari kesalahan. Melekatlah asas nebis in idem dalam peristiwa yang bersangkutan.
Hasil gambar untuk Menegakkan HAM

Di sesi ini siswa akan belajar tentang Pelanggaran dan Proses Peradilan Hak Asasi Manusia Internasional dan penjelasan tambahan terkait dengan proses peradilan HAM Internasional
  1. 1.        Pelanggaran Hak Asasi Manusia Internasional
Penjahat perang dalam kasus PD I dan PD II, secara individu, mereka yang diduga kuat dan di dukung sejumlah bukti, didakwa melakukan kejahatan kemanusiaan (humanity crimes), kejahatan perang (war crimes), diadili dalam suatu pengadilan internasional yang dibentuk khusus di negara tertentu yang bersifat sementara (pengadilan ad hoc). Setelah selesainya pelaksanaan pengadilan ad hoc ini terus di bubarkan. Banyak terjadi bahwa pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang dinilai oleh masyarakat internasional serius (seperti Polpot di Kamboja, Idi Amin di Uganda, dan sebagainya), ternyata luput dari pertanggungjawaban individu atas segala kejahatan yang mereka lakukan, baik di depan sidang Pengadilan Nasional maupun di depan Mahkamah Pidana Internasional.
  1. 2.        Peradilan terhadap Pelanggar HAM Internasional
     Perkembangan terakhir hukum pidana Internasional adalah disepakatinya pembentukan International Crime Court (ICC) dalam suatu sidang United Nations Diplomatic Conference on Criminal Court, 17 Juni 1998 di Roma (Italia). Dengan disahkannya ICC sebagai badan baru di lingkungan PBB, terwujudlah suatu badan peradilan internasional yang bersifat tetap (permanen). Badan ini mempunyai kekuasaan untk melaksanakan yurisdiksinya atas seseorang yang melakukan kejahatan- kejahatan yang sangat serius. Dalam konferensi diplomatik PBB mengenai Pengadilan Kejahatan, disepekati bahwa kejahatan-kejahatan itu adalah:
  1. The Crime of genocide (permusuhan massal terhadap kelompok etnis atau penganut agama tertentu).
  2. Crime against humanity (kejahatan melawan kemanusiaan).
  3. War Crimes (kejahatan perang).
  4. The crime of aggression (penyerangan suatu bangsa atau negara terhadap bangsa atau negara lain).
  1. 3.        Patokan atau Ukuran menentukan Unwillingness
Patokan yang dapat menentuka suatu negara berada dalam keadaan enggan atau unwillingness melakukan penentuan yang disepakati dan diakui oleh masyarakat internasional di dasarkan pada pasal 17 Statuta ICC. Menurut ketentuan ini, landasan yang menentukan keengganan di dasarkan pada prinsip-prinsip hukum acara (due process) yang diakui oleh hukum international. Prinsip itu adalah sebagai berikut
  1. Persidangan atau putusan yang diambil negara yang bersangkutan denngan maksud melindungi pelaku dari tanggung jawab pidana.
  2. Adanya penundaan yang tidak sah dalam pemeriksaan dan tidak konsisten dengan tujuan mengadilli pelaku untuk menegakkan keadilan.
  3. Peradilan yang dilakukan tidak mandiri atau tidak konsisten untuk mengadili pelaku.
  4. 4.        Patokan atau Ukuran Unabillity
     Menurut ketentuan Pasal 17 ayat (3) Statuta ICC, yang menjadi dasar pembentukan Yugoslavia dan Rwanda Tribunal, suatu negara dianggap berada dalam kondisi tidak mampu menyelesaikan suatu perkara, apabila secara total atau sebagian atau sama sekali sistem peradilan pidana negaranya tidak dapat menjalankan tugas dan kewenangannya.

Baca Juga ' seputar masalah kesehatan dan solusinya di sini

  1. 5.        Pengertian Kejahatan yang Serius
     Pasal 5 Satuta ICC menggariskan bahwa pada dasarnya menjadi yurisdiksi tribunal bercorak internasional terdiri atas genoicide, kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againtshumanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crimes agression). Apabila jenis kejahatan tersebut sangat serius sehingga membawa keprihatinan masyarakat internasional, barulah pantas menjadi wilayah penanganan yurisdiksi internasional.
  1. 6.        Asas Nebis in idem
     Sesuai dengan asas nebis in idem, artinya tiada seorang pun diadili untuk kedua kalinya mengenai peristiwa pidana yang sama. Apabila putusan yang dijatuhkan kepadanya bersifat positif, dalam bentuk dijatuhi hukuman atau dibebaskan dari kesalahan. Melekatlah asas nebis in idem dalam peristiwa yang bersangkutan.

SESI 2

SESI 2

Gambar terkait

Pada sesi kedua ini siswa akan membahas masalah Hambatan dan tantangan dalam Penegakan HAM di Indonesia.
  1. 1.        Dari Dalam Negeri
    1. a.    Kualitas Peraturan Perundang-Undangan
Kualitas peraturan perundang-undangan belum sesuai dengan harapan masyarakat. Hal ini dikarenakan:
  1. Adanyahukum sebagai peninggalan atau warisan hukum kolonial. Hukum kolonial jauh ari perlindungan, apalagi penegakan HAM.
  2. Adanya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan masa ORLA yang bersifat otoriter seperti UU No. 11 PNPS/1963 tentang subversi. Jiwa peraturan tersebut tentu tidak selaras lagi dengan nilai-nilai kesetaraan warga negara dalam era keterbukaan dan demokrasi.
  3. b.    Penegakan Hukum yang Kurang aatau Tidak Bijaksana Karena Bertentangan dengan Aspirasi Masyarakat.
Misalnya, hak penggunaan atas tanah yang kepemilikannya di atur dalam UU, dibuktikan dengan sertifikat kepemilikan tanah. Namun, hak yang semestinya masih tetap berfungsi sosial digunakan untuk hal-hal yang tidak selaras dengan perasaan hukum dan keadilan masyarakat.
  1. c.     Kesadaran Hukum yang Masih Rendah sebagai Akibat Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia.
Pengertian Keroyok massa, sebagai salah satu bentuk perilaku main hakim sendiri (eigenrichting), dianggap sesuatu perbuatan yang wajar dan dirasakan sebagai perbuatan biasa, bukan pelanggaran hukum di masyarakat. Oleh karena itu, seringkali petugas keamanan, termasuk polisi, tidak mampu menegakkan hukum dalam situasi kacau yang melibatkan massa.
  1. d.    Rendahnya Penguasaan Hukum dari Sebagian Aparat Penegak Hukum
           Kualitas aparat penegak huku yang rendah tingkat kesiriusan dalam menagani perkara akan rendah pula. Disamping itu cara yang dipakai untuk menegakkan hukum sering bertentangan dengan hukum itu sendiri.
  1. e.    Mekanisme Lembaga Penegak Hukum yang Fragmentaris, Sehingga Sering Timbul Disparitas Penegak Hukum dalam Kasusu yang Sama
Di negara kita berlaku sistem hukum maksimal dalam hukum pidana materiil (KUHP). Oleh sebab itu, dimungkinkan terjadinya perbedaan bobot hukuman oleh hakim dari tingkat peradilah yang berbeda walaupun dalam perkara yang sama. Akibatnya, sebagian warga masyarakat merasa tidak adanya kepastian hukum.
  1. f.      Budaya Hukum dan HAM yang Belum Terpadu
Perbedaan persepsi dalam kasusu hukum tertentu masih sering mewarnai kehidupan masyarakat. Misalnya istilah perbuatan zina dalan KUHP tidak sama dengan pengertian perbuatan zina menurut warga masyarakat yang bernuansa pemahaman hukum Islam. Jadi, hukum materiil yang berlaku belum sepenuhnya mencerminkan perasaan hukum masyarakat.
  1. g.    Keadaan Geografis Indonesia yang Luas
Suatu produk hukum tertentu yang berskala nasional memerlukan sosialisasi dalam waktu yang relatif lama. Hal ini, sangat diperlukan, sebab penyebaran tingkat kualitas pendidikan dan kemajuan sosial budaya di Indonesia sangat bervariasi. Pengaruhnya adalah masalah di wilayah tertentu menjadi masalah di wilayah yang lain.
  1. 2.        Luar Negeri
    1. a.    Penetrasi Ideologi dan Kekuatan Komunisme
Inti ajaran Karl Marx yang disebut historis materialisme merupaka asal mula ajaran komunisme dunia. Dalam praktiknya, ajaran komunisme mempunyai beberapa ciri menonjol:
  1. Di bidang politik, dalam rangka menuju maayarakat komunis yang sama rasa, sama rata, pemerintahan dipegang oleh kaum proletar yang menjalankan pemerintahan secara diktator, sehingga disebut diktator proletarian.
  2. Di bidang ekonomi, seluruh aktifitas ekonomidipegang secara totaliter oleh negara.
  3. Di bidang agama, negara yang menganut paham komunisme melarang rakyatnya untuk memeluk agama, karena agama di anggap sebagai racun masyarakat yang dapat menghambat kemajuan.

'' lebih lengkapnya anda bisa baca di sini (here)
b.    Penetrasi Ideologi dan Kekuatan Liberalisme
Dalam ideologi ini, manusia memiliki kemauan bebas dan merdeka serta harus di berikan kesempatan untuk memajukan diri sendiri dengan merdeka pula. Paham Liberalisme dilaksanakan di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Asia. Paham ini menghendaki hal-hal:
  1. Kekuasaan mutlak mayoritas atas minoritas sehingga dapat terjadi diktator mayoritas terhadap minoritas.
  2. Lebih mengutamakan pemungutan suara mayoritas dalam mengambil keputusan.
  3. Golongan besar dan kuat akan dapat memaksakan kehendaknya kepada golongan minoritas.
  4. Kebebasan yang tidak terkendali dapat menggangu jalannya pemerintahan dan aktifitas kehidupan masyarakat sehari-hari.
  5. Di bidang ekonomi, persaingan bebas akan mematikan golongan ekonomi lemah.
  6. Paham liberal akan melahirkan manusia egois-individualis yang jauh dari sifat
  7. kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Gambar terkait

Pada sesi kedua ini siswa akan membahas masalah Hambatan dan tantangan dalam Penegakan HAM di Indonesia.
  1. 1.        Dari Dalam Negeri
    1. a.    Kualitas Peraturan Perundang-Undangan
Kualitas peraturan perundang-undangan belum sesuai dengan harapan masyarakat. Hal ini dikarenakan:
  1. Adanyahukum sebagai peninggalan atau warisan hukum kolonial. Hukum kolonial jauh ari perlindungan, apalagi penegakan HAM.
  2. Adanya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan masa ORLA yang bersifat otoriter seperti UU No. 11 PNPS/1963 tentang subversi. Jiwa peraturan tersebut tentu tidak selaras lagi dengan nilai-nilai kesetaraan warga negara dalam era keterbukaan dan demokrasi.
  3. b.    Penegakan Hukum yang Kurang aatau Tidak Bijaksana Karena Bertentangan dengan Aspirasi Masyarakat.
Misalnya, hak penggunaan atas tanah yang kepemilikannya di atur dalam UU, dibuktikan dengan sertifikat kepemilikan tanah. Namun, hak yang semestinya masih tetap berfungsi sosial digunakan untuk hal-hal yang tidak selaras dengan perasaan hukum dan keadilan masyarakat.
  1. c.     Kesadaran Hukum yang Masih Rendah sebagai Akibat Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia.
Pengertian Keroyok massa, sebagai salah satu bentuk perilaku main hakim sendiri (eigenrichting), dianggap sesuatu perbuatan yang wajar dan dirasakan sebagai perbuatan biasa, bukan pelanggaran hukum di masyarakat. Oleh karena itu, seringkali petugas keamanan, termasuk polisi, tidak mampu menegakkan hukum dalam situasi kacau yang melibatkan massa.
  1. d.    Rendahnya Penguasaan Hukum dari Sebagian Aparat Penegak Hukum
           Kualitas aparat penegak huku yang rendah tingkat kesiriusan dalam menagani perkara akan rendah pula. Disamping itu cara yang dipakai untuk menegakkan hukum sering bertentangan dengan hukum itu sendiri.
  1. e.    Mekanisme Lembaga Penegak Hukum yang Fragmentaris, Sehingga Sering Timbul Disparitas Penegak Hukum dalam Kasusu yang Sama
Di negara kita berlaku sistem hukum maksimal dalam hukum pidana materiil (KUHP). Oleh sebab itu, dimungkinkan terjadinya perbedaan bobot hukuman oleh hakim dari tingkat peradilah yang berbeda walaupun dalam perkara yang sama. Akibatnya, sebagian warga masyarakat merasa tidak adanya kepastian hukum.
  1. f.      Budaya Hukum dan HAM yang Belum Terpadu
Perbedaan persepsi dalam kasusu hukum tertentu masih sering mewarnai kehidupan masyarakat. Misalnya istilah perbuatan zina dalan KUHP tidak sama dengan pengertian perbuatan zina menurut warga masyarakat yang bernuansa pemahaman hukum Islam. Jadi, hukum materiil yang berlaku belum sepenuhnya mencerminkan perasaan hukum masyarakat.
  1. g.    Keadaan Geografis Indonesia yang Luas
Suatu produk hukum tertentu yang berskala nasional memerlukan sosialisasi dalam waktu yang relatif lama. Hal ini, sangat diperlukan, sebab penyebaran tingkat kualitas pendidikan dan kemajuan sosial budaya di Indonesia sangat bervariasi. Pengaruhnya adalah masalah di wilayah tertentu menjadi masalah di wilayah yang lain.
  1. 2.        Luar Negeri
    1. a.    Penetrasi Ideologi dan Kekuatan Komunisme
Inti ajaran Karl Marx yang disebut historis materialisme merupaka asal mula ajaran komunisme dunia. Dalam praktiknya, ajaran komunisme mempunyai beberapa ciri menonjol:
  1. Di bidang politik, dalam rangka menuju maayarakat komunis yang sama rasa, sama rata, pemerintahan dipegang oleh kaum proletar yang menjalankan pemerintahan secara diktator, sehingga disebut diktator proletarian.
  2. Di bidang ekonomi, seluruh aktifitas ekonomidipegang secara totaliter oleh negara.
  3. Di bidang agama, negara yang menganut paham komunisme melarang rakyatnya untuk memeluk agama, karena agama di anggap sebagai racun masyarakat yang dapat menghambat kemajuan.

'' lebih lengkapnya anda bisa baca di sini (here)
b.    Penetrasi Ideologi dan Kekuatan Liberalisme
Dalam ideologi ini, manusia memiliki kemauan bebas dan merdeka serta harus di berikan kesempatan untuk memajukan diri sendiri dengan merdeka pula. Paham Liberalisme dilaksanakan di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Asia. Paham ini menghendaki hal-hal:
  1. Kekuasaan mutlak mayoritas atas minoritas sehingga dapat terjadi diktator mayoritas terhadap minoritas.
  2. Lebih mengutamakan pemungutan suara mayoritas dalam mengambil keputusan.
  3. Golongan besar dan kuat akan dapat memaksakan kehendaknya kepada golongan minoritas.
  4. Kebebasan yang tidak terkendali dapat menggangu jalannya pemerintahan dan aktifitas kehidupan masyarakat sehari-hari.
  5. Di bidang ekonomi, persaingan bebas akan mematikan golongan ekonomi lemah.
  6. Paham liberal akan melahirkan manusia egois-individualis yang jauh dari sifat
  7. kekeluargaan dan kegotongroyongan.

SESI 1

SESI 1







 Gambar terkait



Pada sesi ini siswa akan belajar tentang Pengertian, Macam-Macam Hak Asasi Manusia (HAM) dan Sejarah singkat HAM dan Dekelarasi HAM dunia.
  1. 1.        Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi manusia adalah hak dasar atau pokok yang melekat atau dimiliki manusia sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Menurut UU No. 39 Tahun 1999, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME. Hak itu merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, di junjung tinggi dan dilindung oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Hak asasi manusia mempunyai ciri-ciri khusus, antara lain:
  1. Hakiki, artinya hak asasi manusia adalah hak semua umat manusia yang sudah ada sejak lahir.
  2. Universal, artinya hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang status, suku, bangsa, gender atau perbedaan lainnya. Memang persamaan adalah salah satu dari ide-ide hak asasi manusia yang mendasar.
  3. Tidak dapat dicabut, artinya hak asasi manusia tidak dapat di cabut atau diserahkan.
  4. Tak dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak, apakah hak sipil dan politik, atau hak ekonomi, sosial dan budaya.
Manusia sebagai makhluk individu sekaligusmakhluk sosial, akan sering terjadi perbenturan kepentingan antara seseorang dengan lainnya. Maka secara praktiknya, hak asasi manusia tidak dapat
dilaksanakan secara mutlak. Karena akan terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia itu sendiri (hak asasi orang lain).
  1. 2.        Macam Macam Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) hanya tercantum pada Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 saja dan tidak ada pasal dan bab khusus mengenai hak asasi.
Setelah Amandemen ke-4 tahun 2002, dalam UUD 1945 disempurnakan rincian tentang macam hak asasi manusia menjadi lebih banyak dan lengkap. Di samping pasal-pasal terdahulu masih dipertahankan, di munculkan pula bab baru yang berjudul Bab XA tentang Hak Asasi Manusia beserta pasal-pasal tambahannya (Pasal 28 A sampai dengan 28 J).

Sidang Istimewa MPR yang diselenggarakan pada bulan November 1998, antara lainberhasil mengeluarkan TAP MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Dan di muat pula pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM dalam Piagam HAM. Kemudian diperinci dalam pasal demi pasal yang terdiri atas 44 pasal. Perincian Ham dalam Pasal 1-44 tersebut secara gris besarnya sebagai berikut:
  1. Hak untuk hidup
  2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
  3. Hak mengembangkan diri
  4. Hak keadilan
  5. Hak kemerdekaan
  6. Hak atas kebebasan informasi
  7. Hak keamanan
  8. Hak kesejahteraan
  9. Hak perlindungan dan pemajuan
  10. Kewajiban menghormati hak asasi manusia orang lain
Dari ketentuan UUD 1945 dan TAP MPR dijabarkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah seperti UU No. 39 tahun 1999. Dalam sidang ini mengenai HAM dirinci sebagai berikut:
  1. Hak untuk hidup
  2. Hak untuk berkeluarga
  3.  Hak mengembangkan diri
  4. Hak memperoleh keadilan
  5. Hak atas kebebasan pribadi
  6. Hak atas rasa aman
  7. Hak atas kesejahteraan
  8. Hak turut serta dalam pemerintahan
  9. Hak wanita
  10.  Hak anak
Sementara itu, secara umum hak asasi manusia terdiri atas 6 macam , yakni:
  1. Hak asasi pribadi (persoal right)
  2. Hak asasi ekonomi (proverty right)
  3. Hak asasi politik (political right)
  4. Hak asasi untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (right of legal equality)
  5. Hak asasi sosial dan kebudayaan (social and culture right)
  6. Hak asasi untuk memperoleh perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural right).
  1. 3.        Sejarah Singkat HAM dan Dekelarasi HAM Dunia
Menurut Sejarah, pengakuan HAM dimulai dari Kaisar Hammurabi dengan membuat peraturan yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan ketertiban bagi rakyatnya. Kemudian di abad modern, pada tahun 1215 di tandatangani suatu perjanjian, Magna Charta, antara Raja John dari Inggris dan sejumlah bangsawan. Raja John dipaksa memberi jaminan terhadap beberapa hak para pangeran yang telah turut membiayai kegiatan pemerintahan dan berbagai peperangannya. Hak-hak yang dijamin meliputi hak-hak politik dan sipil yang mendasar seperti tidak akan dipenjarakan tanpa pemeriksaan di forum peradilan, dan hanya berlaku untuk bangsawan yang bersangkutan beserta keturunannya. Akan tetapi, hak itu menjadi bagian dari konstitusi Inggris sebagai perlindungan atas kebebasan semua waraga negara. Sampai sekarang Magna Charta masih dianggap sebagai tonggak sejarah dalam perkembangan demokrasi dan perlindungan hak asasi di Barat.
Lalu muncullah berbagai piagam pengakuan HAM yang lain seperti: Petition of Right (1629), Habeas Corpus Act (1679), Bill of Right(1689), dan lain-lain. Ham baru mendapat perhatian dan menjadi pembicaraan lebih serius kira-kira dua abad terakhir, yaitu ditandai dengan adanya kemerdekaan Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Dan perkembangannya secara resmi diakui pada Dekelarasi Universal HAM yang diterima oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948.
Perang Dunia I dan II merupakan titik balik pelanggaran HAM. Pada waktu itu para pemimpin dunia menyalahgunakan kekuasaan mereka, seperti Hitler ari Jerman, Benito Mussolini dari Italia, Joseph Stalin dari Uni Soviet, dan sebagainya.
Dekelarasi HAM se-Dunia merupakan dokumen HAM Internasional yang paling penting, yang berisi panduan atau standar tingkah laku bagi seluruh negara.






 Gambar terkait



Pada sesi ini siswa akan belajar tentang Pengertian, Macam-Macam Hak Asasi Manusia (HAM) dan Sejarah singkat HAM dan Dekelarasi HAM dunia.
  1. 1.        Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi manusia adalah hak dasar atau pokok yang melekat atau dimiliki manusia sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Menurut UU No. 39 Tahun 1999, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME. Hak itu merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, di junjung tinggi dan dilindung oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Hak asasi manusia mempunyai ciri-ciri khusus, antara lain:
  1. Hakiki, artinya hak asasi manusia adalah hak semua umat manusia yang sudah ada sejak lahir.
  2. Universal, artinya hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang status, suku, bangsa, gender atau perbedaan lainnya. Memang persamaan adalah salah satu dari ide-ide hak asasi manusia yang mendasar.
  3. Tidak dapat dicabut, artinya hak asasi manusia tidak dapat di cabut atau diserahkan.
  4. Tak dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak, apakah hak sipil dan politik, atau hak ekonomi, sosial dan budaya.
Manusia sebagai makhluk individu sekaligusmakhluk sosial, akan sering terjadi perbenturan kepentingan antara seseorang dengan lainnya. Maka secara praktiknya, hak asasi manusia tidak dapat
dilaksanakan secara mutlak. Karena akan terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia itu sendiri (hak asasi orang lain).
  1. 2.        Macam Macam Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) hanya tercantum pada Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 saja dan tidak ada pasal dan bab khusus mengenai hak asasi.
Setelah Amandemen ke-4 tahun 2002, dalam UUD 1945 disempurnakan rincian tentang macam hak asasi manusia menjadi lebih banyak dan lengkap. Di samping pasal-pasal terdahulu masih dipertahankan, di munculkan pula bab baru yang berjudul Bab XA tentang Hak Asasi Manusia beserta pasal-pasal tambahannya (Pasal 28 A sampai dengan 28 J).

Sidang Istimewa MPR yang diselenggarakan pada bulan November 1998, antara lainberhasil mengeluarkan TAP MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Dan di muat pula pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM dalam Piagam HAM. Kemudian diperinci dalam pasal demi pasal yang terdiri atas 44 pasal. Perincian Ham dalam Pasal 1-44 tersebut secara gris besarnya sebagai berikut:
  1. Hak untuk hidup
  2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
  3. Hak mengembangkan diri
  4. Hak keadilan
  5. Hak kemerdekaan
  6. Hak atas kebebasan informasi
  7. Hak keamanan
  8. Hak kesejahteraan
  9. Hak perlindungan dan pemajuan
  10. Kewajiban menghormati hak asasi manusia orang lain
Dari ketentuan UUD 1945 dan TAP MPR dijabarkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah seperti UU No. 39 tahun 1999. Dalam sidang ini mengenai HAM dirinci sebagai berikut:
  1. Hak untuk hidup
  2. Hak untuk berkeluarga
  3.  Hak mengembangkan diri
  4. Hak memperoleh keadilan
  5. Hak atas kebebasan pribadi
  6. Hak atas rasa aman
  7. Hak atas kesejahteraan
  8. Hak turut serta dalam pemerintahan
  9. Hak wanita
  10.  Hak anak
Sementara itu, secara umum hak asasi manusia terdiri atas 6 macam , yakni:
  1. Hak asasi pribadi (persoal right)
  2. Hak asasi ekonomi (proverty right)
  3. Hak asasi politik (political right)
  4. Hak asasi untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (right of legal equality)
  5. Hak asasi sosial dan kebudayaan (social and culture right)
  6. Hak asasi untuk memperoleh perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural right).
  1. 3.        Sejarah Singkat HAM dan Dekelarasi HAM Dunia
Menurut Sejarah, pengakuan HAM dimulai dari Kaisar Hammurabi dengan membuat peraturan yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan ketertiban bagi rakyatnya. Kemudian di abad modern, pada tahun 1215 di tandatangani suatu perjanjian, Magna Charta, antara Raja John dari Inggris dan sejumlah bangsawan. Raja John dipaksa memberi jaminan terhadap beberapa hak para pangeran yang telah turut membiayai kegiatan pemerintahan dan berbagai peperangannya. Hak-hak yang dijamin meliputi hak-hak politik dan sipil yang mendasar seperti tidak akan dipenjarakan tanpa pemeriksaan di forum peradilan, dan hanya berlaku untuk bangsawan yang bersangkutan beserta keturunannya. Akan tetapi, hak itu menjadi bagian dari konstitusi Inggris sebagai perlindungan atas kebebasan semua waraga negara. Sampai sekarang Magna Charta masih dianggap sebagai tonggak sejarah dalam perkembangan demokrasi dan perlindungan hak asasi di Barat.
Lalu muncullah berbagai piagam pengakuan HAM yang lain seperti: Petition of Right (1629), Habeas Corpus Act (1679), Bill of Right(1689), dan lain-lain. Ham baru mendapat perhatian dan menjadi pembicaraan lebih serius kira-kira dua abad terakhir, yaitu ditandai dengan adanya kemerdekaan Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Dan perkembangannya secara resmi diakui pada Dekelarasi Universal HAM yang diterima oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948.
Perang Dunia I dan II merupakan titik balik pelanggaran HAM. Pada waktu itu para pemimpin dunia menyalahgunakan kekuasaan mereka, seperti Hitler ari Jerman, Benito Mussolini dari Italia, Joseph Stalin dari Uni Soviet, dan sebagainya.
Dekelarasi HAM se-Dunia merupakan dokumen HAM Internasional yang paling penting, yang berisi panduan atau standar tingkah laku bagi seluruh negara.

UUD PERUBAHAN KONSTITUSI INDONESIA DARI 5 JULI HINGGA LAHIRNYA PERUBAHAN (AMANDEMEN) I,II,III, dan IV

UUD PERUBAHAN KONSTITUSI INDONESIA DARI 5 JULI HINGGA LAHIRNYA PERUBAHAN (AMANDEMEN) I,II,III, dan IV

Hasil gambar untuk PERUBAHAN KONSTITUSI
  1. A.  PENGERTIAN PERUBAHAN KONSTITUSI
Perkataan “perubahan” dalam konstitusi asal katanya “rubah”, dan kata kerjanya “merubah”. Menurut Sri Sumantri mengubah UUD atau konstitusi dapat berarti:
  • Mengubah sesuatu yang sudah diatur dalam UUD atau konstitusi (membuat isi ketentuan UUD menjadi lain dari semula melalui penafsiran).
  • Menambahkan sesuatu yang belum diatur dalam UUD atau konstitusi.
Sri Sumantri mengatakan bahwa mengubah konstitusi atau UUD sama dengan mengamandemen konstitusi atau UUD. Hal ini didasarkan pada mengubah UUD dalam bahasa Inggrisnya adalah “to amandement the constitution”, sedangkan kata perubahan konstitusi bahasa inggrisnya adalah “constitution amandement”.
  1. B.  PERUBAHAN KONSTITUSI DI INDONESIA MULAI 5 JULI 1959 HINGGA LAHIRNYA PERUBAHAN I,II,III,DAN IV
  2. 1.     Masa Orde Lama (5 Juli 1959-1966)
Karena situasi politik pada sidang konstituante 1959 banyak tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan UUDS 1950 yang berlaku pada saat itu.
Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, negara Indonesia berdasarkan UUD 1945. Masa ini disebut masa Orde Lama, banyak pula terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan. Sistem penmntahan dijalankan tidak sesuai dengan UUD 1945.
Penyimpangan-penyimpangan itu ialah diantaranya:
  1. Presiden mengangkat ketua dan wakil ketua DPR, MPR, dan MA serta wakil ketua DPA menjadi Menteri Negara.
  2. MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
  3. Presiden mengeluarkan produk hukum yang setingkat undang-undang tanpa persetujuan DPR.
  4. Presiden membubarkan DPR hasil pemilu karena berselisih dengan pemerintah mengenai RAPBN untuk tahun 1961. Dan pada saat itu, DPR menolak mengesahkan RAPBN tersebut. Kemudian Presiden membentuk DPRGR (DPR Gotong Royong) melalui penpres no.4 tahun 1960 sebagai ganti dari DPR yang dibubarkan sejak 5 Maret 1960. Komposisi keanggotaan DPRGR tidak didasarkan atas pertimbangan kekuatan partai yang dihasilkan pemilu tetapi diatur sedemikian rupa oleh presiden.
Masa orde lama berakhir dengan adanya pemberontakan G30SPKI dan rakyat menuntut perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan negara yang otoriter karena pada masa ini dipaksakan doktrin seolah-olah negara dalam keadaan revolusi dan presiden sebagai kepala negara otomati menjadi pimpinan besar revolusi, sehingga dengan hal-hal diatas lahirlah TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat). Dalam keadaan kacau itu presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah 11 Maret atau Supersemar kepada Letjen Soeharton berdasarkan surat perintah itu Letjen Soeharto atas nama Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/ Mandataris MPRS menandatangi Keputusan Presiden No, 113/ 1966 tertanggal 12 Maret 1966 yang menyatakan pembubaran PKI.
Untuk mengakhiri kemelut politik tersebut, pada tanggal 7-12 Maret 1967 diselenggarakan sidang istimewa MPRS dengan tema utama mengenai pertanggungjawaban presiden selaku mandataris MPRS. Dalam sidang itu MPRS menilai presiden Soekarno tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusionalnya selaku mandataris MPRS, khusunya yang menyangkut kebijakan menghadapi G30S. Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jendral Soeharto sebagai pejabat presiden hingga dipilihnya presiden oleh MPRS hasil pemilu. Selanjutnya, dalam sidang umum V MPRS tanggal 21 Maret 1968, Soeharto diangkat menjadi presiden RI untuk masa 5 tahun (1968-1973)
  1. 2.    Masa Orde Baru (11 Maret 1966-21 Mei 1998)
Setelah orde lama runtuh, pemerintah baru terbentuk yang diberi nama Orde Baru. Pada masa ini pemeritah menyatakan dan bertekad akan menjalankan UUD 1945 Dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dalam upaya untuk mewujudkan hal itu pemerintah Soeharto mengadakan pemilihan umum pada tahun 1Badan Permusyawaratan / Perwakilan rakyat.
Pemerintah yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 ini menghasilkan lembaga- lembaga negara dan pemerintah yang tidak sementara lagi.MPR kemudian menetapkan GBHN, memilih presiden dan wakil presiden dan memberi mandat kepada presiden terpilih untuk melaksanakan GBHN. Sejak itu mekanisme 5 tahunan berjalan dengan teratur dan stabil, sebab sepertiga anggota MPR dikontrol dengan pengangkatan.
Setelah meninjau sejarah pertikaian antara kaum komunis dan kaum islam dalam spektrum politik pemerintah ORBA berupaya meredakan konflik tersebut dengan membangun konsep “Demokrasi Pancasila” yang sebenarnya otoriter dengan angkatan bersenjata menjadi intinya.
Pada masa Orde Baru, selain kekuasaan eksekutif,kekuasaan legislatif dan yudikatif juga berada di bawah presiden. Pembangunan di segala bidang dengan prioritas pertumbuhan ekonomi malah menghasilkan ketidak merataan pendapatan. Ada segelintir orang yang menguasai dua per tiga GNP Indonesia sehingga semakin dalam jurang pemisah antara si miskin dan si kaya.Sementara itu pihak lain yaitu pemerintah dan penguasa menjalin kerjasama yang menguntungkan pribadi dan keluarga pejabat.
Apabila menengok kembali tekad awal dari pemerintahan orde baru yang akan menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekuen agaknya masalah diatas sangat bertentangan dengan hal itu. Yang terjadi justru dalam pelaksanaannya malah menyimpang dari pancasila dan UUD 1945 yang murni. Dalam masalah diatas tadi terjadi pelanggaran pasal 23 mengenai hal keuangan. Kareena hhutang para komlomerat atau private debt dijadikan beban rakyat Indonesia atau publik debt. Selain terjadi pelanggaran pasal 23,pasal 33 mengenai kesejahteraan sosial khususnya pada pasal 33 ayat 3 “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” akan tetapi pemerintah malah memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancurkan hutan dan sumber alam kita.
Pada sisi yang berbeda dalam hal kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang telah diatur pada pasal 28 juga dilanggar, hal ini dapat kita lihat dengan adanya pembedelan massa serta pembunuhan yang dilakukan kepada orang-orang yang kritis terhadaap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui melalui sejumlah peraturan: Ketetapan MPR No: I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya. Ketetapan MPR No : IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Undang-undang No 5 tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR No.IV/MPR/1983.
Krisis moneter tahun 1997 berdampak pula terhadap kehidupan sosial dan politik sehingga terjadi krisis kepercayaan dan krisis politik. Pada awal tahun 1998 keadaan negara semakin tidak menentu dan krisis ekonomi tidak ditemui titik terang penyelesaiaannya. Akibatnya aksi mahasiswapun menjadi semakin marak menuntut pengunduran diri presiden Soeharto hingga terjadilah peristiwa trisakti. Dan pada 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di gedung istana merdeka, Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden. Dengan demikian berakhirlah masa kekuasaan Orde Baru selama tiga puluh dua tahun.[1]
  1. 3.    Masa Reformasi
Setelah Soeharto turun, BJ Habibie naik menjadi presiden. Karena dianggap hanya sebagai tokoh transisi, ia dapat berusaha mengurusi transisi itu sebagai tugas yang istimewa sehingga perannya dikatakan berhasil. Prakarsa awalnya, adalah mewujudkan reformasi politik. Setelah berunding bersama MPR dan DPR saat itu hasilnya adalah Sidang Istimewa MPR pada Desember 1998. Sidang itu antara lain menghasilkan keputusan memberi mandat pada presiden untuk menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1999.
Partai-partai baru mulai bermunculan untuk memperebutkan kursi DPR dalam pemilu 1999 tersebut yang diikuti oleh 48 parati. Pemilu 1999 adalah pemilu paling demokratis bila di bandinngkan pemilu-pemilu jaman ORBA. Sidang MPR pasca pemilu 1999 pemilih presiden KH. Abdurrahman Wahid dan wakil presiden megawati Soekarno Putri.[2]
Pada era reformasi ini gagasan untuk melakukan amandemen atas UUD 1945 semakin menguat karena adanya tuntutan dari mahasiswa untuk mengamandemen UUD 1945,bahkan beberapa partai politik mencantumkan ”amandemen” di dalam program perjuangan dan platform politiknya. Tidak sedikit pula pakar hukum tata negara, dan politik yang menimpakan kesalahan kepada UUD 1945 berkenaan dengan krisis nasional yang kini sedang menimpa bangsa Indonesia. Di antara mereka bahkan ada yang mengusulkan dilakukannnya perbaikan total atas konstitusi dengan mengubah UUD 1945 dan bukan hanya dengan amandemen yang sifatnya tambal sulam saja.
Alasan pada masa reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945 antara lain :
  • Fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis.
  • Pada masa ORBA, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan multitafsir) serta kenyataan perumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Tujuan perubahan UUD waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum.
  • Hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
  • Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penetapan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya  memulai ”kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar yaitu sebuah konstitusi.
Terkait dengan pelaksanaan UUD 1945, ada hal yang sangat penting dalam sidang MPR 1999 tersebut. Kesepakatam politik seluruh anggota MPR untuk mengamandemen secara bertahap pasal-pasal di dalam UUD 1945 agar lebih lengkap, lebih jelas ( tidak multi interpretable)dan sesuai dengan dinamika masyarakat serta perkembangan jaman. Sedangkan pembukaan UUD 1945 dan konsep negara kesatuan sebagaimana termaktub di dalam pasal 1 ayat 1 tidak akan diubah. Sistem dan Bentuk Perubahan Konstitusi periode diberlakukannya UUD’45 sampai Amandemen.
Perubahan, tambahan dan penyempurnaan UUD 1945 dapat dilaksanakan melalui pasal 37 UUD 1945 yaitu oleh MPR berdsarkan ketentuan tersebut itu pula, maka yang dapat dilakukan oleh MPR berdasarkan haknya sebagaimana ditentukan dalam pasal 37 UUD 1945 adalah merubah, menambah, atau menyempurnakan UUD 1945. Sejak berlakunya lagi UUD 1945 berdasarkan dekrit presiden 5 Juli 1959, ternyatalah bahwa UUD’45 tersebut tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen sehingga banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan, antara lain banyak lembaga-lembaga negara sebagaimana di kehendaki UUD’45 masih bersifat sementara, juga lembaga-lembaga tersebut belum atau tidak berfungsi sebagaimana di tentukan dalam UUD.
  1. 4.    Sistem dan Bentuk Perubahan Konstitusi Dari Diberlakukannya Kembali UUD 1945 Sampai Amandemen UUD 1945 I,II,III, dan IV.
Sistem perubahan konstitusi di Indonesia menganut sistem constitutional amandement yaitu perubahan tidak dilakukan langsung terhadap UUD lama, UUD lama masih tetap berlaku, sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut merupakan adendum/ sisipan dari konstitusi yang asli (lama). Oleh karena itu, yang diamandemen merupakan / menjadi bagian dari konstitusi yang asli. Hal ini terdapat pada konstitusi kita, bahwa selama periode diberlakukannya kembali UUD ’45 sampai dengan amandemen UUD ‘45 I,II,III, IV, banyak pasal yang diamandemen. Dalam mengamandemen UUD ’45, konstitusi lama masih berlaku sedangkan hasil dari perubahan disisipkan menjadi bagian dari konstitusi yang asli. Perubahan tentang UUD ’45 sudah bisa diramal oleh para penyusunnya. Para penyusun UUD ’45 menyadari bahwa UUD ’45 disusun dalam waktu yang singkat kurang lebih 49 hari. Jadi dimungkinkan tata cara perubahan untuk penyempurnaan, bahkan kehendak untuk dikemudian hari untuk membuat suatu UUD baru. Soekarno mengutarakan bahwa UUD ’45 merupakan UUD kilat.
Dengan adanya dekrit presiden 5 Juli 1959, maka konstitusi Negara Indonesia kembali memberlakukan UUD 1945. Walaupun diberlakukan kembali UUD ’45, ternyata UUD ’45 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sehingga banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan, maka tuntutan untuk merubah konstitusipun mulai banyak. Kondisi politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain yang senantiasa berubah, juga mewajibkan untuk menyesuaikan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga konstitusi perlu diubah jika tidak sesuai dengan kemauan masyarakat. Dorongan untuk mengubah dan memperbaharui UUD 1945 juga dikarenakan UUD 1945 sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaannya, tidak berjalan sesuai dengan “staatsidee” mewujudkan Negara berdasarkan konstitusi seperti tegaknya tatanan demokrasi, Negara berdasarkan atas hukum yang menjamin hal-hal seperti hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Justru yang terjadi adalah etatisme dan otoriterisme yang menggunakan UUD ’45 sebagai sandaran. Amandemen terhadap UUD ’45 tidak terutama ditentukan oleh ketentuan hukum yang mengatur tata cara perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh berbagai kekuatan politik dan social yang dominan pada saat-saat tertentu.
UUD ’45 menampilkan keunikan yang tidak lazim dijumpai pada sistem UUD di Negara-negara lain. Keunikan itu antara lain mengenai Penjelasan dan aturan Tambahan. Belum pernah dijumpai ada UUD yang mempunyai penjelasan seperti UUD ’45. Bahkan penjelasan itu dimuat dan diumumkan dalam Berita Republik  (1946) dan Lembaran Negara (1959) bersama-sama pasal-pasal dalam UUD. Penjelasan dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara. Keunikan-keunikan ini terjadi akibat dari sifat UUD yang kilat, sehingga baik isi maupun penyusunannya kurang memperhatikan syarat, unsur, dan asas-asas pembuatan suatu undang-undang yang baik. Pada saat ini tidak semua aturan peralihan dalam UUD ’45 masih berlaku, dikarenakan baik objek, kewenangan atau sasaran yang hendak dicapai tidak ada lagi / waktunya sudah lampau. Demikian pula aturan tambahan, sebagai aturan temporer, aturan tambahan hanya berlaku sesuai dengan ketentuan dalam UUD ’45.[3]
Cara perubahan konstitusi di Indonesia menganut formal amandemen yaitu perubahan konstitusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi yang bersangkutan. Di Indonesia, tentang tata cara perubahan konstitusi tercantum dalam UUD ’45 pasal 37 dimana ada badan yang berwenang menetapkan dan merubah UUD yaitu MPR.
Berdasarkan pasal 37 UUD 1945, tata cara perubahan UU di Indonesia sebagai berikut:
  1. Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
  2. Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
  3. Untuk mengubah pasal-pasal UUD, siding MPR dihadiri oelh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
  4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.[4]

[1] Anwar Kurnia, 2002, IPS Sejarah 3 SLTP, Jakarta: Yudistira, hal
[2] Rukiyati, 2008, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: UNY Press, hal 117-118
[3] Bagir Manan, 2001, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, hal 104-105
[4] UUD’45, 2008,Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI, hal 80

Hasil gambar untuk PERUBAHAN KONSTITUSI
  1. A.  PENGERTIAN PERUBAHAN KONSTITUSI
Perkataan “perubahan” dalam konstitusi asal katanya “rubah”, dan kata kerjanya “merubah”. Menurut Sri Sumantri mengubah UUD atau konstitusi dapat berarti:
  • Mengubah sesuatu yang sudah diatur dalam UUD atau konstitusi (membuat isi ketentuan UUD menjadi lain dari semula melalui penafsiran).
  • Menambahkan sesuatu yang belum diatur dalam UUD atau konstitusi.
Sri Sumantri mengatakan bahwa mengubah konstitusi atau UUD sama dengan mengamandemen konstitusi atau UUD. Hal ini didasarkan pada mengubah UUD dalam bahasa Inggrisnya adalah “to amandement the constitution”, sedangkan kata perubahan konstitusi bahasa inggrisnya adalah “constitution amandement”.
  1. B.  PERUBAHAN KONSTITUSI DI INDONESIA MULAI 5 JULI 1959 HINGGA LAHIRNYA PERUBAHAN I,II,III,DAN IV
  2. 1.     Masa Orde Lama (5 Juli 1959-1966)
Karena situasi politik pada sidang konstituante 1959 banyak tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan UUDS 1950 yang berlaku pada saat itu.
Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, negara Indonesia berdasarkan UUD 1945. Masa ini disebut masa Orde Lama, banyak pula terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan. Sistem penmntahan dijalankan tidak sesuai dengan UUD 1945.
Penyimpangan-penyimpangan itu ialah diantaranya:
  1. Presiden mengangkat ketua dan wakil ketua DPR, MPR, dan MA serta wakil ketua DPA menjadi Menteri Negara.
  2. MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
  3. Presiden mengeluarkan produk hukum yang setingkat undang-undang tanpa persetujuan DPR.
  4. Presiden membubarkan DPR hasil pemilu karena berselisih dengan pemerintah mengenai RAPBN untuk tahun 1961. Dan pada saat itu, DPR menolak mengesahkan RAPBN tersebut. Kemudian Presiden membentuk DPRGR (DPR Gotong Royong) melalui penpres no.4 tahun 1960 sebagai ganti dari DPR yang dibubarkan sejak 5 Maret 1960. Komposisi keanggotaan DPRGR tidak didasarkan atas pertimbangan kekuatan partai yang dihasilkan pemilu tetapi diatur sedemikian rupa oleh presiden.
Masa orde lama berakhir dengan adanya pemberontakan G30SPKI dan rakyat menuntut perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan negara yang otoriter karena pada masa ini dipaksakan doktrin seolah-olah negara dalam keadaan revolusi dan presiden sebagai kepala negara otomati menjadi pimpinan besar revolusi, sehingga dengan hal-hal diatas lahirlah TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat). Dalam keadaan kacau itu presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah 11 Maret atau Supersemar kepada Letjen Soeharton berdasarkan surat perintah itu Letjen Soeharto atas nama Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/ Mandataris MPRS menandatangi Keputusan Presiden No, 113/ 1966 tertanggal 12 Maret 1966 yang menyatakan pembubaran PKI.
Untuk mengakhiri kemelut politik tersebut, pada tanggal 7-12 Maret 1967 diselenggarakan sidang istimewa MPRS dengan tema utama mengenai pertanggungjawaban presiden selaku mandataris MPRS. Dalam sidang itu MPRS menilai presiden Soekarno tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusionalnya selaku mandataris MPRS, khusunya yang menyangkut kebijakan menghadapi G30S. Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jendral Soeharto sebagai pejabat presiden hingga dipilihnya presiden oleh MPRS hasil pemilu. Selanjutnya, dalam sidang umum V MPRS tanggal 21 Maret 1968, Soeharto diangkat menjadi presiden RI untuk masa 5 tahun (1968-1973)
  1. 2.    Masa Orde Baru (11 Maret 1966-21 Mei 1998)
Setelah orde lama runtuh, pemerintah baru terbentuk yang diberi nama Orde Baru. Pada masa ini pemeritah menyatakan dan bertekad akan menjalankan UUD 1945 Dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dalam upaya untuk mewujudkan hal itu pemerintah Soeharto mengadakan pemilihan umum pada tahun 1Badan Permusyawaratan / Perwakilan rakyat.
Pemerintah yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 ini menghasilkan lembaga- lembaga negara dan pemerintah yang tidak sementara lagi.MPR kemudian menetapkan GBHN, memilih presiden dan wakil presiden dan memberi mandat kepada presiden terpilih untuk melaksanakan GBHN. Sejak itu mekanisme 5 tahunan berjalan dengan teratur dan stabil, sebab sepertiga anggota MPR dikontrol dengan pengangkatan.
Setelah meninjau sejarah pertikaian antara kaum komunis dan kaum islam dalam spektrum politik pemerintah ORBA berupaya meredakan konflik tersebut dengan membangun konsep “Demokrasi Pancasila” yang sebenarnya otoriter dengan angkatan bersenjata menjadi intinya.
Pada masa Orde Baru, selain kekuasaan eksekutif,kekuasaan legislatif dan yudikatif juga berada di bawah presiden. Pembangunan di segala bidang dengan prioritas pertumbuhan ekonomi malah menghasilkan ketidak merataan pendapatan. Ada segelintir orang yang menguasai dua per tiga GNP Indonesia sehingga semakin dalam jurang pemisah antara si miskin dan si kaya.Sementara itu pihak lain yaitu pemerintah dan penguasa menjalin kerjasama yang menguntungkan pribadi dan keluarga pejabat.
Apabila menengok kembali tekad awal dari pemerintahan orde baru yang akan menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekuen agaknya masalah diatas sangat bertentangan dengan hal itu. Yang terjadi justru dalam pelaksanaannya malah menyimpang dari pancasila dan UUD 1945 yang murni. Dalam masalah diatas tadi terjadi pelanggaran pasal 23 mengenai hal keuangan. Kareena hhutang para komlomerat atau private debt dijadikan beban rakyat Indonesia atau publik debt. Selain terjadi pelanggaran pasal 23,pasal 33 mengenai kesejahteraan sosial khususnya pada pasal 33 ayat 3 “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” akan tetapi pemerintah malah memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancurkan hutan dan sumber alam kita.
Pada sisi yang berbeda dalam hal kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang telah diatur pada pasal 28 juga dilanggar, hal ini dapat kita lihat dengan adanya pembedelan massa serta pembunuhan yang dilakukan kepada orang-orang yang kritis terhadaap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui melalui sejumlah peraturan: Ketetapan MPR No: I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya. Ketetapan MPR No : IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Undang-undang No 5 tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR No.IV/MPR/1983.
Krisis moneter tahun 1997 berdampak pula terhadap kehidupan sosial dan politik sehingga terjadi krisis kepercayaan dan krisis politik. Pada awal tahun 1998 keadaan negara semakin tidak menentu dan krisis ekonomi tidak ditemui titik terang penyelesaiaannya. Akibatnya aksi mahasiswapun menjadi semakin marak menuntut pengunduran diri presiden Soeharto hingga terjadilah peristiwa trisakti. Dan pada 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di gedung istana merdeka, Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden. Dengan demikian berakhirlah masa kekuasaan Orde Baru selama tiga puluh dua tahun.[1]
  1. 3.    Masa Reformasi
Setelah Soeharto turun, BJ Habibie naik menjadi presiden. Karena dianggap hanya sebagai tokoh transisi, ia dapat berusaha mengurusi transisi itu sebagai tugas yang istimewa sehingga perannya dikatakan berhasil. Prakarsa awalnya, adalah mewujudkan reformasi politik. Setelah berunding bersama MPR dan DPR saat itu hasilnya adalah Sidang Istimewa MPR pada Desember 1998. Sidang itu antara lain menghasilkan keputusan memberi mandat pada presiden untuk menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1999.
Partai-partai baru mulai bermunculan untuk memperebutkan kursi DPR dalam pemilu 1999 tersebut yang diikuti oleh 48 parati. Pemilu 1999 adalah pemilu paling demokratis bila di bandinngkan pemilu-pemilu jaman ORBA. Sidang MPR pasca pemilu 1999 pemilih presiden KH. Abdurrahman Wahid dan wakil presiden megawati Soekarno Putri.[2]
Pada era reformasi ini gagasan untuk melakukan amandemen atas UUD 1945 semakin menguat karena adanya tuntutan dari mahasiswa untuk mengamandemen UUD 1945,bahkan beberapa partai politik mencantumkan ”amandemen” di dalam program perjuangan dan platform politiknya. Tidak sedikit pula pakar hukum tata negara, dan politik yang menimpakan kesalahan kepada UUD 1945 berkenaan dengan krisis nasional yang kini sedang menimpa bangsa Indonesia. Di antara mereka bahkan ada yang mengusulkan dilakukannnya perbaikan total atas konstitusi dengan mengubah UUD 1945 dan bukan hanya dengan amandemen yang sifatnya tambal sulam saja.
Alasan pada masa reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945 antara lain :
  • Fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis.
  • Pada masa ORBA, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan multitafsir) serta kenyataan perumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Tujuan perubahan UUD waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum.
  • Hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
  • Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penetapan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya  memulai ”kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar yaitu sebuah konstitusi.
Terkait dengan pelaksanaan UUD 1945, ada hal yang sangat penting dalam sidang MPR 1999 tersebut. Kesepakatam politik seluruh anggota MPR untuk mengamandemen secara bertahap pasal-pasal di dalam UUD 1945 agar lebih lengkap, lebih jelas ( tidak multi interpretable)dan sesuai dengan dinamika masyarakat serta perkembangan jaman. Sedangkan pembukaan UUD 1945 dan konsep negara kesatuan sebagaimana termaktub di dalam pasal 1 ayat 1 tidak akan diubah. Sistem dan Bentuk Perubahan Konstitusi periode diberlakukannya UUD’45 sampai Amandemen.
Perubahan, tambahan dan penyempurnaan UUD 1945 dapat dilaksanakan melalui pasal 37 UUD 1945 yaitu oleh MPR berdsarkan ketentuan tersebut itu pula, maka yang dapat dilakukan oleh MPR berdasarkan haknya sebagaimana ditentukan dalam pasal 37 UUD 1945 adalah merubah, menambah, atau menyempurnakan UUD 1945. Sejak berlakunya lagi UUD 1945 berdasarkan dekrit presiden 5 Juli 1959, ternyatalah bahwa UUD’45 tersebut tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen sehingga banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan, antara lain banyak lembaga-lembaga negara sebagaimana di kehendaki UUD’45 masih bersifat sementara, juga lembaga-lembaga tersebut belum atau tidak berfungsi sebagaimana di tentukan dalam UUD.
  1. 4.    Sistem dan Bentuk Perubahan Konstitusi Dari Diberlakukannya Kembali UUD 1945 Sampai Amandemen UUD 1945 I,II,III, dan IV.
Sistem perubahan konstitusi di Indonesia menganut sistem constitutional amandement yaitu perubahan tidak dilakukan langsung terhadap UUD lama, UUD lama masih tetap berlaku, sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut merupakan adendum/ sisipan dari konstitusi yang asli (lama). Oleh karena itu, yang diamandemen merupakan / menjadi bagian dari konstitusi yang asli. Hal ini terdapat pada konstitusi kita, bahwa selama periode diberlakukannya kembali UUD ’45 sampai dengan amandemen UUD ‘45 I,II,III, IV, banyak pasal yang diamandemen. Dalam mengamandemen UUD ’45, konstitusi lama masih berlaku sedangkan hasil dari perubahan disisipkan menjadi bagian dari konstitusi yang asli. Perubahan tentang UUD ’45 sudah bisa diramal oleh para penyusunnya. Para penyusun UUD ’45 menyadari bahwa UUD ’45 disusun dalam waktu yang singkat kurang lebih 49 hari. Jadi dimungkinkan tata cara perubahan untuk penyempurnaan, bahkan kehendak untuk dikemudian hari untuk membuat suatu UUD baru. Soekarno mengutarakan bahwa UUD ’45 merupakan UUD kilat.
Dengan adanya dekrit presiden 5 Juli 1959, maka konstitusi Negara Indonesia kembali memberlakukan UUD 1945. Walaupun diberlakukan kembali UUD ’45, ternyata UUD ’45 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sehingga banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan, maka tuntutan untuk merubah konstitusipun mulai banyak. Kondisi politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain yang senantiasa berubah, juga mewajibkan untuk menyesuaikan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga konstitusi perlu diubah jika tidak sesuai dengan kemauan masyarakat. Dorongan untuk mengubah dan memperbaharui UUD 1945 juga dikarenakan UUD 1945 sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaannya, tidak berjalan sesuai dengan “staatsidee” mewujudkan Negara berdasarkan konstitusi seperti tegaknya tatanan demokrasi, Negara berdasarkan atas hukum yang menjamin hal-hal seperti hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Justru yang terjadi adalah etatisme dan otoriterisme yang menggunakan UUD ’45 sebagai sandaran. Amandemen terhadap UUD ’45 tidak terutama ditentukan oleh ketentuan hukum yang mengatur tata cara perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh berbagai kekuatan politik dan social yang dominan pada saat-saat tertentu.
UUD ’45 menampilkan keunikan yang tidak lazim dijumpai pada sistem UUD di Negara-negara lain. Keunikan itu antara lain mengenai Penjelasan dan aturan Tambahan. Belum pernah dijumpai ada UUD yang mempunyai penjelasan seperti UUD ’45. Bahkan penjelasan itu dimuat dan diumumkan dalam Berita Republik  (1946) dan Lembaran Negara (1959) bersama-sama pasal-pasal dalam UUD. Penjelasan dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara. Keunikan-keunikan ini terjadi akibat dari sifat UUD yang kilat, sehingga baik isi maupun penyusunannya kurang memperhatikan syarat, unsur, dan asas-asas pembuatan suatu undang-undang yang baik. Pada saat ini tidak semua aturan peralihan dalam UUD ’45 masih berlaku, dikarenakan baik objek, kewenangan atau sasaran yang hendak dicapai tidak ada lagi / waktunya sudah lampau. Demikian pula aturan tambahan, sebagai aturan temporer, aturan tambahan hanya berlaku sesuai dengan ketentuan dalam UUD ’45.[3]
Cara perubahan konstitusi di Indonesia menganut formal amandemen yaitu perubahan konstitusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi yang bersangkutan. Di Indonesia, tentang tata cara perubahan konstitusi tercantum dalam UUD ’45 pasal 37 dimana ada badan yang berwenang menetapkan dan merubah UUD yaitu MPR.
Berdasarkan pasal 37 UUD 1945, tata cara perubahan UU di Indonesia sebagai berikut:
  1. Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
  2. Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
  3. Untuk mengubah pasal-pasal UUD, siding MPR dihadiri oelh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
  4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.[4]

[1] Anwar Kurnia, 2002, IPS Sejarah 3 SLTP, Jakarta: Yudistira, hal
[2] Rukiyati, 2008, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: UNY Press, hal 117-118
[3] Bagir Manan, 2001, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, hal 104-105
[4] UUD’45, 2008,Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI, hal 80

Diberdayakan oleh Blogger.

Entri yang Diunggulkan

Study Kasus pelanggaran HAM

Arsip Blog

adv/http://www.mogflat.blogspot.com|https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhQvKzbU91h0BjV_eelk3uqWNEqTchjMW4okYodbLwKG9LswMDf92SYWFy2XLfdtz3uX7djio4YCxiSI6m38ttJ451_UUocW_G1gTNJmawqaXgegH9R5h4Z79c9gtOq1zjNuek2rFoXJs/s1600/adv-4.jpg
adv/http://www.mogflat.blogspot.com|https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKMV0B5F-A-JgmXTa_TkZ2cBYFMTxNifVeH0LCMSZX6JsjQA2T5IABBwYahSlEvlI8jSx6S6SbLNxHXVSiMkU5pc3_sdRFlXLhag6JHppeIUP6HtoLAEb5zfJmyEVTNA9QT-ssXN14kUQ/s1600/adv-5.jpg

Like Us

fb/https://www.facebook.com/ariaishiteru.3