Belakangan ini, isu trafiking sudah menjadi isu bersama baik pemerintah, LSM, ormas dan sebagainya. Dengan kemampuan yang dimilikinya, selama ini masing-masing lembaga melakukan kerja-kerja seperti pencegahan, penanganan kasus maupun medorong munculnya kebijakan-kebijakan ditingkat pemerintah.
Namun demikian, dari kerja-kerja yang dilakukan terkadang antara satu lembaga dengan lainnya berjalan sendiri-sendiri. Sehingga saling tumpang-tindih antara satu dengan lainnya. Di sisi lain, persoalan yang seharusnya ditangani terkadang terabaikan, karena kesibukan masing-masing lembaga. Dalam hal ini, kiranya perlu ada mekanisme kerja jaringan serta sistem rujukan data dan kasus penanganan secara terpadu. Karena kejahatan trafiking merupakan kejahatan kemanusiaan yang membutuhkan penanganan bersama dan kerjasama antar multi stakeholder.
Demikian beberapa persoalan yang mengemuka di “Pertemuan Jaringan Anti Trafiking” bertempat di Fahmina Training Centre Jalan Suratno No. 32 Kota Cirebon. Kegiatan yang dilaksanakan pada Selasa, 22 April 2008 ini, diikuti oleh 30 aktifis dari berbagai lembaga yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Anti Trafiking (JIMAT) Cirebon dan Satuan Gugus Tugas Anti Trafiking (SANTRI) Indramayu dan sejumlah perwakilan instansi pemerintah daerah terkait.
Dalam pertemuan tersebut, sejumlah aktifis menyoroti lambannya penanganan kasus trafiking yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum di Indramayu dan Kabupaten Cirebon. Seperti yang diungkapkan oleh Masripah, dari FWBMI Indramayu, “meskipun Peraturan Daerah (Perda) Pelarangan Trafiking sudah ada di Indramayu, namun prakteknya aturan tinggal aturan, tapi aparatnya lempar tanggung jawab jika diminta bantuan menangani berbagai kasus trafiking atau buruh migran yang muncul di daerah tersebut”. Lebih lanjut Masripah menjelaskan bahwa aparat berwenang seringkali mengemukakan alasan klasik yaitu karena tidak adanya anggaran.
Sri, dari WCC Balqis Arjawinangun, juga mengeluhkan soal komunikasi sesama anggota jaringan yang kadang saling lempar kasus, padahal korban butuh penanganan segera. Sri berharap melalui pertemuan jaringan seperti ini soal pembagian kerja bisa diagendakan, agar lebih banyak lagi kasus trafiking yang bisa ditangani.
Castra, dari FWBMI (Forum Warga Buruh Migran Indoensia) Cirebon memandang perlunya penguatan kapasitas terhadap para aktifis dan petugas pendamping anti trafiking, dalam hal kemampuan paralegal, fundrising dan strategi sosialisasi.
Di akhir pertemuan, untuk memperkuat sistem, efesiensi dan mekanisme kerja jaringan anti trafiking di Indramayu dan Kabupaten Cirebon, para peserta menyepakati perlu ada pertemuan jaringan lanjutan, untuk membahas soal kode etik jaringan.
Sumber : Oleh Erlinus Thahar
Sambung Rasa RRI Cirebon Bahas Soal Trafiking
Ditulis oleh Administrator
Wednesday, 25 February 2009
“Bagaimana pemerintah menanggapi banyaknya kasus-kasus trafiking yang ada“, tanya salah satu peserta acara Sambung Rasa sore itu (2/11). Pertanyaan tidak langsung diserahkan kepada para narasumber untuk dijawab, tetapi semua peserta yang hadir diberi kesempatan terlebih dahulu untuk menaggapi pertanyaan tersebut, sebelum akhirnya Mas Taufik, Sang Moderator, mempersilahkan Ali Mursid, sebagai narasumber dari Fahmina, untuk menjelaskan.
Acara sambung rasa ini terselengara berkat kerjasama antara Radio Republik Indonesia (RRI) Cirebon dengan Fahmina Institute. Selain narasumber dari fahmina, acara ini juga menghadirkan narasumber dari Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID) Cirebon, yaitu Akbarudin Sutjipto, sekretaris KPAID.
Kang Akbar, sapaan akrab Akbaruddin Sucipto, menyayangkan sikap pemerintah yang seolah hanya mengeruk harta dari para buruh migran Indonesia (BMI). Disisi lain mereka mengakui BMI sebagai pahlawan devisa-yang begitu banyak memberikan pendapatan bagi Negara melalui remittance-tapi tidak ada perhatian yang serius untuk menciptkan save migration bagi mereka, selama ini yang terjadi di Indonesia adalah hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, sungguh ironis. Pemerintah sudah membuat undang-undang Peraturan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), tinggal bagaimana sikap para penegak hukum dan semua pihak yang terkait berkomitmen untuk melaksanakannya.
Beberapa peserta menganggap bahwa banyak orang Indonesia yang pergi ke luar negeri sebagai Buruh Migran bukan atas paksaan dari siapapun, tapi atas keinginannya sendiri. Mengenai hal ini, Kang Ali-begitu panggilan akrab untuk Ali Mursyid, menegaskan bahwa bekerja di luar negeri adalah hak setiap warga Negara Indonesia. Yang lebih penting adalah bagaiaman hak bekerja itu terjamin kemanan dan kenyamanannya.
Program pencegahan dan penanganan trafiking bukanlah program yang melarang perempuan menjadi TKW. Ini berbeda dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pernah mengeluarkan fatwa bahwa perempuan haram jadi TKW. Fatwa haram biasanya disandarkan pada hadits yang artinya; “Perempuan dilarang pergi sendirian lebih dari 3 hari kecuali dengan mahram-nya”.
Dosen Institute Study Islam Fahmina(ISIF) ini, juga menjelaskan bahwa saat ini mahram bisa diartikan sebagai perlindungan hukum. Untuk itulah Fahmina bersama jaringan mendorong untuk pemerintah daerah membuat perda trafiking sejak tahun 2004, walaupun di pemerintah kabupaten Cirebon belum juga digarap serius, kalau di Indramayu sudah dibuat perda trafiking, tinggal menunggu komitmen dari semua elemen masyarakat untuk mewujudkannya.
Tak hanya itu, para peserta juga menanyakan tentang kemana harus melaporkan kasus trafiking, bagaimana menyikapi kasus trafiking dengan modus pengantin pesanan, juga kondisi masyarakat yang masih awam tentang trafiking walaupun berbagai bentuk sosialisasi sudah dilakukan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah, seperti Fahmina.
Acara yang bertempat di kantor Fahmina Institute ini juga sedianya mengundang Bapak Kapolresta Cirebon, tapi beliau tidak hadir tanpa memberikan konfirmasi yang jelas. Hal itu, sangat disayangkan para peserta karena pihak Polresta sangat mereka nantikan untuk menjelaskan sejauh mana kepolisian, terutama kota Cirebon menangani kasus-kasus trafiking yang ada.
Rupanya, perbincangan seputar trafiking memang sangat menarik, terbukti ketika diskusi telah ditutup oleh Sang Moderator, yang juga merupakan salah satu penyiar RRI, diskusi masih tetap hangat, “bicara trafiking, satu jam terasa sangat singkat” ungkap Victor salah seorang peserta.
Sumber : Alifatul Arifiati
Pelaku Trafiking Diganjar 4 Tahun Penjara, Jaksa Naik Banding
Ditulis oleh Administrator
Wednesday, 25 February 2009
Setelah kurang lebih setahun melewati proses hukum, kasus trafiking dengan korban Sn (19 tahun), In (27 tahun) dan Ya (22 tahun) warga Pecilon Kabupaten Cirebon, akhirnya telah sampai pada keputusan hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Cirebon.
Melalui Majelis Hakim yang dipimpin oleh Rusyono SH, pada tanggal 5 mei 2008, terdakwa Su (46 tahun) dan Si (47 tahun) akhirnya dijatuhkan hukuman penjara masing-masing 4 dan 3 tahun potong tahanan. Ini jauh dibawah tuntutan jaksa penuntut umum sebesar 10 tahun penjara. Sementara tuntutan subsider, berupa restitusi (ganti rugi) ditolak majelis hakim, karena permohononan restitusi baru diajukan ketika sidang berlangsung.
Tiga perempuan korban trafiking tersebut semula dibujuk oleh terdakwa dengan janji diberi pekerjaan bergaji besar di sebuah kafe di Lubuk Linggau. Kontan saja, korban yang memang lagi membutuhkan pekerjaan tanpa pikir panjang menerima tawaran tersebut. Apalagi terdakwa memberikan pinjaman masing-masing 1 juta rupiah sebelum berangkat untuk keperluan membeli pakaian, kosmetik dan sisanya diberikan ke keluarga yang ditinggalkan.
Namun, ternyata impian korban akhirnya kandas. Mereka malah terjerat di sebuah sindikat pelacuran di KM 15 Lubuk Linggau, Sumatra Selatan, sebuah kawasan prostitusi cukup terkenal di Sumatra Selatan. Di lokasi tersebut, mereka dipaksa melayani puluhan lelaki tiap malam. Jika melawan, mereka disiksa dengan cara dipukul dan ditendang oleh mucikari mereka.
Untunglah salah satu korban berhasil mengontak keluarganya di Cirebon. Mendengar kondisi tersebut, keluarga korban melapor ke Polres Cirebon. Bersama Fahmina institute, pihak Polres berupaya menjemput korban. Kemudian menjerat pelaku dengan UU No 21 tahun 2007 Pemberantasan Tindakan Pidana Perdagangan Orang.
Setelah melalui proses peradilan berlangsung setahun lebih, kemudian dua orang pelaku kejahatan tersebut dijatuhi hukuman 4 dan 3 tahun, potong masa tahanan. Kurang puas dengan vonis tersebut, rencananya jaksa penuntut umum Nita SH mengajukan upaya naik banding.***
Sumber : Erlinus Thahar
Magang Kerja, Modus Baru Trafficking
Ditulis oleh Administrator
Wednesday, 25 February 2009
Mereka baru beranjak dewasa. Semangat untuk menimba ilmu masih menggebu-gebu. Siapa sangka keseriusan 45 mahasiswa The Bandung Hotel School (TBHS) memperdalam ilmu pariwasata itu berujung kemalangan. Wajah-wajah belia dan lugu itu menjadi sasaran empuk sindikat trafficking untuk dikirim ke luar negeri sebagai tenaga kerja dengan kedok magang kerja.
Awalnya para mahasiswa itu mengikuti praktik magang kerja sebagai salah satu persyaratan kurikulum TBHS. Namun, ada juga yang mengetahui lowongan itu melalui iklan di media massa Bandung. "Waktu itu saya lihat iklan di media massa. Iklan itu sebenarnya lowongan kerja, tapi berkedok management training," tutur Siti Sekar Nusantari, alumnus Shoreline College Seattle Amerika Serikat, kepada VHRmedia.com, Kamis (26/7).
Gadis Cimahi yang akrab di panggil Sekar ini tentu tidak menyangka karier pendidikannya berakhir seperti ini. Dia diminta membayar Rp 4,5 juta dengan alasan untuk keperluan administrasi seperti paspor dan surat-surat lainnya. "Saya berangkat sebulan lalu dan bekerja di sebuah travel agent. Tapi saya kecewa karena merasa dibohongi dengan izin yang bermasalah," ujarnya.
Nasib Sekar mungkin berbeda dari nasib Asep Suhardi. Pria kelahiran 23 Februari 1987 itu masih terdaftar sebagai mahasiswa semester I The Bandung Hotel School. Seperti proses kuliah pada umumnya, menurut Asep, tiga bulan pertama dia mendapatkan teori dan tiga bulan berikutnya praktik. Dia terpaksa mengikuti job training di Malaysia untuk menyelesaikan pendidikan D1. Di Malaysia, Asep dipekerjakan di rumah makan pinggir jalan, Restoran Nasi King Briyani.
"Saya berangkat tanggal 31 Mei, ditangkap 27 Juni malam. Tanpa ada pertanyaan apa-apa, polisi bawa borgol langsung merantai dan menyeret kami ke mobil. Selanjutnya lima hari ditahan di Camp Putra Jaya," tuturnya.
Di penampungan itu Asep tidak bisa menghubungi siapa pun, bahkan orang-orang terdekat sekalipun. Kemudian dia dipindahkan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur. "Harapan saya waktu itu hanya ingin cari pengalaman di luar negeri. Rata-rata kami bekerja 16 jam. Masuk pukul 8 pagi keluar 12 malam," kenangnya.
Penangkapan pendatang di Malaysia memang tidak mengenal jenis kelamin dan usia. Mita Puspapani mengalami nasib buruk itu. "Saya ikut ditangkap juga waktu itu," katanya.
Gadis semester IV TBHS ini dipekerjakan tidak sesuai dengan yang dijanjikan pihak sekolah. Dara asal Cimahi ini dijanjikan bekerja dengan posisi supervisor training. Nyatanya dia dipekerjakan sebagai waitress di Robert Harrus Endless Coffe & Cuisine.
Ketua Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan WNI KBRI di Malaysia, Tatang B Razak, mengatakan kasus ini terbongkar berawal dari SMS seorang siswa SMK di Bogor kepada petugas KBRI pada 6 Juli 2007. Pesan singkat korban eksploitasi yang diselamatkan KBRI pada April 2007 itu memberitahukan temannya yang sedang on the job training ditangkap Imigrasi Malaysia.
"Kami sudah membongkar (kasus trafficking) tiga kali. Setelah SMS itu dikembangkan, kami menemukan 18 orang ditahan di Imigrasi. Ketika tim KBRI melihat ke sana, mereka ada yang dirantai dan memakai baju tahanan," kata Tatang yang mendampingi para korban pulang di Bandara Soekarno Hatta, Kamis (26/7).
Tatang menyayangkan tindakan sekolah yang sengaja mengeksploitasi para pelajar. Program tersebut ternyata dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi dan tidak melalui prosedur yang seharusnya. "Mereka mengikuti program ini sebagai bagian dari kurikulum. Tapi visa yang diurus visa turis, bukan visa on the job training. Mereka juga tidak mempunyai program, karena ada beberapa yang dipekerjakan tidak sesuai dengan bidangnya. Ada yang dipekerjakan di restoran biasa di pinggir jalan dengan 16 jam kerja. Apa itu on the job training? Ini jelas eksploitasi," ujarnya.
Karena sering terjadi kasus semacam itu, KBRI mengimbau agar program praktik kerja industri segera ditertibkan. Sebab, banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia yang mengikuti on the job training di luar negeri, namun mereka di eksploitasi. "Kami tidak tahu mengenai hal ini dan baru tahu setelah ada kejadian. Kami minta segenap masyarakat untuk bekerja sama membongkar kasus ini," kata Tatang.
Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri menyatakan kasus ekslpoitasi pelajar dan mahasiswa Indonesia berkedok on the job training merupakan modus operandi baru. "Seolah-olah mereka akan dijadikan siswa magang, padahal di sana dipekerjakan," kata Bambang di Mabes Polri. Dia mengatakan langkah-langkah hukum telah dilakukan terkait dengan praktik pengiriman pelajar ini.
Brigjen Pol Mathius Salempang, Kepala Biro Analisis dan Pengkajian Kejahatan Antarnegara Mabes Polri, menginformasikan sudah menahan 3 tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Priyanto Esty Hartono (Direktur TBHS); Widy selaku agen penempatan on the job training di Malaysia; dan Zubaedah alias Nurul yang membantu Widy menempatkan mahasiswa di beberapa hotel dan restoran di Malaysia.
Menurut Mathius, di Malysia para siswa itu disuruh menandatangani kontrak kerja 3 bulan pertama dengan gaji 350 ringgit untuk 8 jam kerja setiap hari dan 3 bulan berikutnya akan digaji 450 ringgit dengan 12 jam kerja. "Ini jelas masuk kategori trafficking, karena ada unsur kesengajaan dan mencari keuntungan dengan tidak dilengkapi dokumen," katanya.
Banyaknya kasus trafficking di tanah air membuat masyarakat resah. Apalagi selalu muncul modus operandi baru. Perlu keseriusan semua pihak untuk mencegah praktik itu. Paling tidak agar nasib pelajar Indonesia tidak berakhir di tangan sindikat perdagangan manusia.
Sumber : Kurniawan Tri Yunanto
Ditulis oleh Administrator
Tuesday, 24 February 2009
HUT Bhayangkara, Momentum Pembangunan Polri di Era Kebangkitan Nasional Oleh: Yuyun Yudhantara
Pasca runtuhnya Orde Baru, Polri adalah salah satu institusi negara yang sering mendapat sorotan dan kritikan tajam dari seluruh lapisan masyarakat. Polri masih sering dianggap kurang dapat melindungi masyarakat atau lemah dalam menegakkan hukum. Ada juga perilaku oknum anggota Polri yang menyimpang seperti masih menggunakan cara kekerasan terhadap masyarakat, mengkonsumsi narkoba, pungli dan memeras. Hal ini menandakan bahwa profesionalisme dan kepercayaan masyarakat terhadap polisi belum sepenuhnya terwujud.
Di tengah sorotan dari berbagai kalangan, Polri berhasil memberantas berbagai bentuk kejahatan di masyarakat seperti terorisme, narkoba, korupsi, perjudian, pembalakan hutan dan penyelundupan. Khusus pemberantasan terorisme, kepolisian mendapat apresiasi dari berbagai pihak di dalam maupun luar negeri. Di usia yang ke-62 ini, Polri telah berupaya merubah perilaku sesuai paradigma baru Polri dan berfungsi sebagai instrumen negara yang dipercaya masyarakat dalam era kebangkitan nasional? Pertanyaan ini mendorong kita untuk lebih dekat memahami sejarah dan proses reformasi Polri serta arah kebijakan Polri ke depan.
Lintasan Sejarah Polri
Zaman Hindia Belanda tahun 1800-1942, kepolisian secara administratif berada di Departemen Dalam Negeri yaitu kantor Hoofd van Dienst der Algemene Politie yang hanya bertugas di bidang administrasi seperti kepegawaian, pendidikan , perlengkapan dan pengawasan. Sedangkan untuk operasionalnya dipertanggungjawabkan kepada Jaksa Agung (procureur generaal). Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, pengorganisasian kepolisian disesuaikan dengan organisasi militer. Dibentuk departemen sendiri yang disebut Keimubu. Pusat kepolisian di Jakarta dinamakan keisatsu bu.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, maka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) yang berkedudukan di Departemen Dalam Negeri tanggal 19 Agustus 1945. Pada tanggal 29 September 1945, Presiden Soekarno melantik Kepala Kepolisian Negara R.I. pertama yaitu Jenderal Polisi R.S.Soekanto. Tanggal 1 Juli 1946 keluar Penetapan Pemerintah Nomor 11/ SD/1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara yang yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Semua fungsi kepolisian disatukan dalam Djawatan Kepolisian Negara, dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia yang diperingati sebagai Hari Bhayangkara (Awaloedin Djamin ;1995).
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) keluar Tap Presiden RIS No.150, tanggal 7 Juni 1950, bahwa organisasi-organisasi kepolisian negara-nagara bagian disatukan dalam Djawatan Kepolisian Indonesia. Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok Kepolisian No.13/1961 yang menyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL,dan AU.
Masa Orde Baru setelah peristiwa G30S/PKI, keluar SK Presiden No.132/1967 tanggal 24 Agustus 1967, ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD,AL,AU dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan.
Pasa masa reformasi, keluar Inpres No.2/1999 tanggal 1 April 1999 yang memisahkan Polri dan TNI,untuk sementara Polri diletakkan di bawah Menteri Pertahanan dan Keamanan. Pada HUT Bhayangkara 1 Juli 2000, dikeluarkan Keppres No.89/2000 yang melepaskan Polri dari Dephan dan menetapkan langsung di bawah Presiden.Kemudian adanya TAP MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menetapkan pemisahan Polri dan TNI, serta TAP MPR No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri.
Reformasi Polri
Sesuai tuntutan demokrasi dalam masyarakat madani (civil society) ini, perubahan terus dilaksanakan oleh Polri. Kinerja kepolisian adalah melindungi dan melayani (to protect and to serve) bukan membunuh atau dibunuh (to kill or to be kill), untuk itu Polri mencanangkan tiga aspek perubahan yaitu instrumental, struktural dan kultural.
Dari aspek instrumental yaitu adanya UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI, secara tegas dinyatakan bahwa Polri bertugas sebagai penegak hukum, pelindung, pelayan,dan pengayom masyarakat serta prinsip menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Aspek struktural, Polri mulai menata organisasi dengan adanya kelembagaan fungsi kepolisian yang bersifat otonom. Aspek kultural dilakukan perubahan menuju kepada polisi sipil (civilian police), yang menunjukkan bahwa pekerjaan polisi selalu berinteraksi dengan masyarakat atau komunitas sipil, jadi perilakunya harus disesuaikan dengan masyarakat sipil. Sekarang ini sudah ada perubahan kurikulum seperti di Akademi Kepolisian (AKPOL) dan Sekolah Polisi Negara (SPN), yaitu mata kuliah yang bersifat militer dikurangi, kecuali seperti latihan baris berbaris dan menembak memang masih diperlukan untuk melatih kedisiplinan dan profesionalisme. Sebagai gantinya diperbanyak mata kuliah yang mengandung profesi kepolisian, hukum, sosial dan HAM.
Paradigma Baru Polri
Dalami paradigma baru ini, Polri perlu melakukan perubahan perilaku militeristik menuju perilaku yang humanistik dan lebih berorientasi pada pelayanan masyarakat. Dengan perilaku tersebut diharapkan dapat terwujud tanggungjawab profesional (professional accountability) dan dipercaya masyarakat (public trust). Untuk mewujudkannya, selain peran pimpinan kepolisian juga komitmen semua anggota kepolisian.
Kita dapat melihat paradigma lama Polri, yaitu tataran filosofi adalah sebagai patriot dan pejuang, tataran struktur dan kedudukan adalah tidak mandiri dan tidak otonom, tataran kultur adalah militeristik dan represif, tataran penampilan yaitu uniform dan militeristik, tataran kontrol tertutup dan sepihak, tataran peradilan dibawah militer dan tataran pendekatan bersifat reaktif dan otoriter. Dalam paradigma baru Polri yaitu tataran filosofi adalah mahir, trampil dan patuh hukum, tataran struktur dan kedudukan adalah mandiri dan otonom, tataran kultur adalah sipil dan pelayan, tataran penampilan yaitu polisi berseragam (uniform police) dan polisi tidak berseragam (plain cloth police), tataran kontrol adalah transparan dan akuntabilitas, tataran peradilan dibawah peradilan umum dan tataran pendekatan bersifat proaktif, demokratis, persuasif dan berperikemanusiaan (humane policing).
Kebijakan Polri Ke Depan
Kebijakan pembangunan Polri ke depan diarahkan menuju polisi sipil yang demokratis yaitu dengan mengembangkan strategi perpolisian masyarakat (polmas), yang mengadopsi dari konsep community policing. Robert R. Friedman menjelaskan bahwa community policing adalah kebijakan dan strategi yang bertujuan agar dapat mencegah terjadinya kejahatan secara efektif dan efisien, mengurangi kecemasan terhadap kejahatan, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kualitas pelayanan polisi dan kepercayaan terhadap polisi, dalam jalinan kerja sama yang proaktif dengan sumber daya masyarakat yang ingin mengubah berbagai kondisi penyebab kejahatan (Kunarto;2000).
Dalam Skep Kapolri No.Pol. Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005, tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, disebutkan bahwa konsep polmas mencakup unsur perpolisian dan masyarakat. Perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata â€Å“policing†berarti segala hal tentang penyelenggaraan fungsi kepolisian. Masyarakat merupakan terjemahan dari kata â€Å“community†(komunitas), dalam konteks polmas berarti warga masyarakat yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya, seperti RT,RW, desa, pasar, dan kawasan industri. Dalam pengertian yang diperluas masyarakat dalam pendekatan polmas bisa meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah yang lebih luas seperti kecamatan, kota, masyarakat berdasar etnis dan agama.
Polmas yaitu ide, gagasan atau model pemolisian yang berpihak kepada masyarakat, lebih proaktif menuju terwujudnya kerjasama yang efektif antara polisi dan masyarakat dalam suatu relasi kemitraan yang sejajar, serta mencari pemecahan masalah yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sumber daya manusia kepolisian yang terbatas, sehingga membutuhkan keikutsertaan masyarakat. Sasaran penerapan polmas adalah membangun Polri yang dapat dipercaya oleh masyarakat, dan membangun komunitas yang siap bekerjasama dengan Polri dalam meniadakan gangguan keamanan serta menciptakan ketentraman. Dirgahayu Polri semoga tetap jaya !
Penulis : Alumni Pasca Sarjana Kajian Ilmu Kepolisian Univ.Indonesia, bertugas di Biro Operasi Polda Sultra. ( Kendari Pos )
Hari Senin 22/09/2008 adalah hari yang istimewa, karena Fahmina kedatangan tamu dari International Labour Organisation (ILO), sebuah oraginsasi international yang knsen membela hak-hak buruh. Rombongan dari ILO ini adalah Irham dan Steven Schimdt dengan ditemani oleh Castra dari Forum Warga Buruh Migran Indonesia (FWBMI).
Kedatangan ke Cirebon untuk melihat dari dekat, sejauh mana Perda-Perda yang diusung oleh lembaga-lembaga yang concern dengan advokasi korban trafiking dan Buruh Migran. Karena itu, selain ke Fahmina Institute, mereka juga berkunjung ke kantor Disnakertrans Kabupaten Cirebon.
Pertemuan antara Fahmina dan ILO berlangsung hangat. Obeng, Ali Mursyid dan Alif menjelaskan profile Fahmina dari mulai pola kerja yang dilakukan, juga memaparkan kerja-kerja Fahmina selama ini dalam komitmennya menghapuskan trafiking. Diantaranya, kampanye anti trafiking melalui penerbitan buletin al-Basyar, penerbitan buku-buku bertemakan Anti Trafiking, majalah Blakasuta dan talkshow di radio-radio komunitas, dan seminar-seminar. Juga, pendampingan terhadap kasus-kasus trafiking.
Steve, panggilan akrab Steven Schimdt menanyakan apakah kendala apa saja yang dihadapi kawan-kawan di Cirebon untuk mendesak diterbitkannya Perda Anti Trfaiking? Alif menyatakan bahwa JIMAT (Jaringan Masyarakat Anti Trafiking) sudah berupaya keras untuk melobi pihak legislatif tapi nggak lebih dari 3 anggota DPRD tersebut yang merespon dengan baik usulan kita, lebih tepat jika dibilang ”mereka tak acuh terhadap penyusunan raperda anti trafiking ini”, ungkapan itu langsung dibenarkan oleh Pak Castra.
”Pemda pun tak kalah gigih dalam mengemukakan alasan, stiap kali kita mendesak pengesahan raperda ini, dari mulai belum terdaftar di Kabag Hukum hingga belum terteranya anggaran penyusunan raperda trafiking dan raperda perlindungan TKI dalam APBD, sehingga harus menunggu tahun depan (baca: tahun 2009)”, tambah Alif.
”Saya tidak tahu kenapa mesti begitu lama untuk mengeshkan raperda ini, karena raperda anti trafiking ini sudah diusung dari tahun 2004, tapi kenyataannya proses berjalan sangat lambat. Apa pihak eksekutif dan legislatif yang memang acuh terhadap persoalan masyarakat ataukah memang kita yang belum maksimal mendorong itu, kalau perlu kita bikin strategi lagi untuk mendesak pemerintah daerah, jika memungkinkan kita gunakan aksi massa”, Kang Obeng memberi komentar.
Di samping itu Ali mengemukakan beberapa kegiatan terakhir Fahmina terkait isyu trafiking, seperti program Polmas dan kerjasama Fahmina, NU dan Polres kab. Cirebon dalam menanggulangi kejahatan trafiking melalui rencana pembentukan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat.
Sumber : Arifiyati
Belakangan ini, isu trafiking sudah menjadi isu bersama baik pemerintah, LSM, ormas dan sebagainya. Dengan kemampuan yang dimilikinya, selama ini masing-masing lembaga melakukan kerja-kerja seperti pencegahan, penanganan kasus maupun medorong munculnya kebijakan-kebijakan ditingkat pemerintah.
Namun demikian, dari kerja-kerja yang dilakukan terkadang antara satu lembaga dengan lainnya berjalan sendiri-sendiri. Sehingga saling tumpang-tindih antara satu dengan lainnya. Di sisi lain, persoalan yang seharusnya ditangani terkadang terabaikan, karena kesibukan masing-masing lembaga. Dalam hal ini, kiranya perlu ada mekanisme kerja jaringan serta sistem rujukan data dan kasus penanganan secara terpadu. Karena kejahatan trafiking merupakan kejahatan kemanusiaan yang membutuhkan penanganan bersama dan kerjasama antar multi stakeholder.
Demikian beberapa persoalan yang mengemuka di “Pertemuan Jaringan Anti Trafiking” bertempat di Fahmina Training Centre Jalan Suratno No. 32 Kota Cirebon. Kegiatan yang dilaksanakan pada Selasa, 22 April 2008 ini, diikuti oleh 30 aktifis dari berbagai lembaga yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Anti Trafiking (JIMAT) Cirebon dan Satuan Gugus Tugas Anti Trafiking (SANTRI) Indramayu dan sejumlah perwakilan instansi pemerintah daerah terkait.
Dalam pertemuan tersebut, sejumlah aktifis menyoroti lambannya penanganan kasus trafiking yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum di Indramayu dan Kabupaten Cirebon. Seperti yang diungkapkan oleh Masripah, dari FWBMI Indramayu, “meskipun Peraturan Daerah (Perda) Pelarangan Trafiking sudah ada di Indramayu, namun prakteknya aturan tinggal aturan, tapi aparatnya lempar tanggung jawab jika diminta bantuan menangani berbagai kasus trafiking atau buruh migran yang muncul di daerah tersebut”. Lebih lanjut Masripah menjelaskan bahwa aparat berwenang seringkali mengemukakan alasan klasik yaitu karena tidak adanya anggaran.
Sri, dari WCC Balqis Arjawinangun, juga mengeluhkan soal komunikasi sesama anggota jaringan yang kadang saling lempar kasus, padahal korban butuh penanganan segera. Sri berharap melalui pertemuan jaringan seperti ini soal pembagian kerja bisa diagendakan, agar lebih banyak lagi kasus trafiking yang bisa ditangani.
Castra, dari FWBMI (Forum Warga Buruh Migran Indoensia) Cirebon memandang perlunya penguatan kapasitas terhadap para aktifis dan petugas pendamping anti trafiking, dalam hal kemampuan paralegal, fundrising dan strategi sosialisasi.
Di akhir pertemuan, untuk memperkuat sistem, efesiensi dan mekanisme kerja jaringan anti trafiking di Indramayu dan Kabupaten Cirebon, para peserta menyepakati perlu ada pertemuan jaringan lanjutan, untuk membahas soal kode etik jaringan.
Sumber : Oleh Erlinus Thahar
Sambung Rasa RRI Cirebon Bahas Soal Trafiking
Ditulis oleh Administrator
Wednesday, 25 February 2009
“Bagaimana pemerintah menanggapi banyaknya kasus-kasus trafiking yang ada“, tanya salah satu peserta acara Sambung Rasa sore itu (2/11). Pertanyaan tidak langsung diserahkan kepada para narasumber untuk dijawab, tetapi semua peserta yang hadir diberi kesempatan terlebih dahulu untuk menaggapi pertanyaan tersebut, sebelum akhirnya Mas Taufik, Sang Moderator, mempersilahkan Ali Mursid, sebagai narasumber dari Fahmina, untuk menjelaskan.
Acara sambung rasa ini terselengara berkat kerjasama antara Radio Republik Indonesia (RRI) Cirebon dengan Fahmina Institute. Selain narasumber dari fahmina, acara ini juga menghadirkan narasumber dari Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID) Cirebon, yaitu Akbarudin Sutjipto, sekretaris KPAID.
Kang Akbar, sapaan akrab Akbaruddin Sucipto, menyayangkan sikap pemerintah yang seolah hanya mengeruk harta dari para buruh migran Indonesia (BMI). Disisi lain mereka mengakui BMI sebagai pahlawan devisa-yang begitu banyak memberikan pendapatan bagi Negara melalui remittance-tapi tidak ada perhatian yang serius untuk menciptkan save migration bagi mereka, selama ini yang terjadi di Indonesia adalah hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, sungguh ironis. Pemerintah sudah membuat undang-undang Peraturan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), tinggal bagaimana sikap para penegak hukum dan semua pihak yang terkait berkomitmen untuk melaksanakannya.
Beberapa peserta menganggap bahwa banyak orang Indonesia yang pergi ke luar negeri sebagai Buruh Migran bukan atas paksaan dari siapapun, tapi atas keinginannya sendiri. Mengenai hal ini, Kang Ali-begitu panggilan akrab untuk Ali Mursyid, menegaskan bahwa bekerja di luar negeri adalah hak setiap warga Negara Indonesia. Yang lebih penting adalah bagaiaman hak bekerja itu terjamin kemanan dan kenyamanannya.
Program pencegahan dan penanganan trafiking bukanlah program yang melarang perempuan menjadi TKW. Ini berbeda dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pernah mengeluarkan fatwa bahwa perempuan haram jadi TKW. Fatwa haram biasanya disandarkan pada hadits yang artinya; “Perempuan dilarang pergi sendirian lebih dari 3 hari kecuali dengan mahram-nya”.
Dosen Institute Study Islam Fahmina(ISIF) ini, juga menjelaskan bahwa saat ini mahram bisa diartikan sebagai perlindungan hukum. Untuk itulah Fahmina bersama jaringan mendorong untuk pemerintah daerah membuat perda trafiking sejak tahun 2004, walaupun di pemerintah kabupaten Cirebon belum juga digarap serius, kalau di Indramayu sudah dibuat perda trafiking, tinggal menunggu komitmen dari semua elemen masyarakat untuk mewujudkannya.
Tak hanya itu, para peserta juga menanyakan tentang kemana harus melaporkan kasus trafiking, bagaimana menyikapi kasus trafiking dengan modus pengantin pesanan, juga kondisi masyarakat yang masih awam tentang trafiking walaupun berbagai bentuk sosialisasi sudah dilakukan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah, seperti Fahmina.
Acara yang bertempat di kantor Fahmina Institute ini juga sedianya mengundang Bapak Kapolresta Cirebon, tapi beliau tidak hadir tanpa memberikan konfirmasi yang jelas. Hal itu, sangat disayangkan para peserta karena pihak Polresta sangat mereka nantikan untuk menjelaskan sejauh mana kepolisian, terutama kota Cirebon menangani kasus-kasus trafiking yang ada.
Rupanya, perbincangan seputar trafiking memang sangat menarik, terbukti ketika diskusi telah ditutup oleh Sang Moderator, yang juga merupakan salah satu penyiar RRI, diskusi masih tetap hangat, “bicara trafiking, satu jam terasa sangat singkat” ungkap Victor salah seorang peserta.
Sumber : Alifatul Arifiati
Pelaku Trafiking Diganjar 4 Tahun Penjara, Jaksa Naik Banding
Ditulis oleh Administrator
Wednesday, 25 February 2009
Setelah kurang lebih setahun melewati proses hukum, kasus trafiking dengan korban Sn (19 tahun), In (27 tahun) dan Ya (22 tahun) warga Pecilon Kabupaten Cirebon, akhirnya telah sampai pada keputusan hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Cirebon.
Melalui Majelis Hakim yang dipimpin oleh Rusyono SH, pada tanggal 5 mei 2008, terdakwa Su (46 tahun) dan Si (47 tahun) akhirnya dijatuhkan hukuman penjara masing-masing 4 dan 3 tahun potong tahanan. Ini jauh dibawah tuntutan jaksa penuntut umum sebesar 10 tahun penjara. Sementara tuntutan subsider, berupa restitusi (ganti rugi) ditolak majelis hakim, karena permohononan restitusi baru diajukan ketika sidang berlangsung.
Tiga perempuan korban trafiking tersebut semula dibujuk oleh terdakwa dengan janji diberi pekerjaan bergaji besar di sebuah kafe di Lubuk Linggau. Kontan saja, korban yang memang lagi membutuhkan pekerjaan tanpa pikir panjang menerima tawaran tersebut. Apalagi terdakwa memberikan pinjaman masing-masing 1 juta rupiah sebelum berangkat untuk keperluan membeli pakaian, kosmetik dan sisanya diberikan ke keluarga yang ditinggalkan.
Namun, ternyata impian korban akhirnya kandas. Mereka malah terjerat di sebuah sindikat pelacuran di KM 15 Lubuk Linggau, Sumatra Selatan, sebuah kawasan prostitusi cukup terkenal di Sumatra Selatan. Di lokasi tersebut, mereka dipaksa melayani puluhan lelaki tiap malam. Jika melawan, mereka disiksa dengan cara dipukul dan ditendang oleh mucikari mereka.
Untunglah salah satu korban berhasil mengontak keluarganya di Cirebon. Mendengar kondisi tersebut, keluarga korban melapor ke Polres Cirebon. Bersama Fahmina institute, pihak Polres berupaya menjemput korban. Kemudian menjerat pelaku dengan UU No 21 tahun 2007 Pemberantasan Tindakan Pidana Perdagangan Orang.
Setelah melalui proses peradilan berlangsung setahun lebih, kemudian dua orang pelaku kejahatan tersebut dijatuhi hukuman 4 dan 3 tahun, potong masa tahanan. Kurang puas dengan vonis tersebut, rencananya jaksa penuntut umum Nita SH mengajukan upaya naik banding.***
Sumber : Erlinus Thahar
Magang Kerja, Modus Baru Trafficking
Ditulis oleh Administrator
Wednesday, 25 February 2009
Mereka baru beranjak dewasa. Semangat untuk menimba ilmu masih menggebu-gebu. Siapa sangka keseriusan 45 mahasiswa The Bandung Hotel School (TBHS) memperdalam ilmu pariwasata itu berujung kemalangan. Wajah-wajah belia dan lugu itu menjadi sasaran empuk sindikat trafficking untuk dikirim ke luar negeri sebagai tenaga kerja dengan kedok magang kerja.
Awalnya para mahasiswa itu mengikuti praktik magang kerja sebagai salah satu persyaratan kurikulum TBHS. Namun, ada juga yang mengetahui lowongan itu melalui iklan di media massa Bandung. "Waktu itu saya lihat iklan di media massa. Iklan itu sebenarnya lowongan kerja, tapi berkedok management training," tutur Siti Sekar Nusantari, alumnus Shoreline College Seattle Amerika Serikat, kepada VHRmedia.com, Kamis (26/7).
Gadis Cimahi yang akrab di panggil Sekar ini tentu tidak menyangka karier pendidikannya berakhir seperti ini. Dia diminta membayar Rp 4,5 juta dengan alasan untuk keperluan administrasi seperti paspor dan surat-surat lainnya. "Saya berangkat sebulan lalu dan bekerja di sebuah travel agent. Tapi saya kecewa karena merasa dibohongi dengan izin yang bermasalah," ujarnya.
Nasib Sekar mungkin berbeda dari nasib Asep Suhardi. Pria kelahiran 23 Februari 1987 itu masih terdaftar sebagai mahasiswa semester I The Bandung Hotel School. Seperti proses kuliah pada umumnya, menurut Asep, tiga bulan pertama dia mendapatkan teori dan tiga bulan berikutnya praktik. Dia terpaksa mengikuti job training di Malaysia untuk menyelesaikan pendidikan D1. Di Malaysia, Asep dipekerjakan di rumah makan pinggir jalan, Restoran Nasi King Briyani.
"Saya berangkat tanggal 31 Mei, ditangkap 27 Juni malam. Tanpa ada pertanyaan apa-apa, polisi bawa borgol langsung merantai dan menyeret kami ke mobil. Selanjutnya lima hari ditahan di Camp Putra Jaya," tuturnya.
Di penampungan itu Asep tidak bisa menghubungi siapa pun, bahkan orang-orang terdekat sekalipun. Kemudian dia dipindahkan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur. "Harapan saya waktu itu hanya ingin cari pengalaman di luar negeri. Rata-rata kami bekerja 16 jam. Masuk pukul 8 pagi keluar 12 malam," kenangnya.
Penangkapan pendatang di Malaysia memang tidak mengenal jenis kelamin dan usia. Mita Puspapani mengalami nasib buruk itu. "Saya ikut ditangkap juga waktu itu," katanya.
Gadis semester IV TBHS ini dipekerjakan tidak sesuai dengan yang dijanjikan pihak sekolah. Dara asal Cimahi ini dijanjikan bekerja dengan posisi supervisor training. Nyatanya dia dipekerjakan sebagai waitress di Robert Harrus Endless Coffe & Cuisine.
Ketua Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan WNI KBRI di Malaysia, Tatang B Razak, mengatakan kasus ini terbongkar berawal dari SMS seorang siswa SMK di Bogor kepada petugas KBRI pada 6 Juli 2007. Pesan singkat korban eksploitasi yang diselamatkan KBRI pada April 2007 itu memberitahukan temannya yang sedang on the job training ditangkap Imigrasi Malaysia.
"Kami sudah membongkar (kasus trafficking) tiga kali. Setelah SMS itu dikembangkan, kami menemukan 18 orang ditahan di Imigrasi. Ketika tim KBRI melihat ke sana, mereka ada yang dirantai dan memakai baju tahanan," kata Tatang yang mendampingi para korban pulang di Bandara Soekarno Hatta, Kamis (26/7).
Tatang menyayangkan tindakan sekolah yang sengaja mengeksploitasi para pelajar. Program tersebut ternyata dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi dan tidak melalui prosedur yang seharusnya. "Mereka mengikuti program ini sebagai bagian dari kurikulum. Tapi visa yang diurus visa turis, bukan visa on the job training. Mereka juga tidak mempunyai program, karena ada beberapa yang dipekerjakan tidak sesuai dengan bidangnya. Ada yang dipekerjakan di restoran biasa di pinggir jalan dengan 16 jam kerja. Apa itu on the job training? Ini jelas eksploitasi," ujarnya.
Karena sering terjadi kasus semacam itu, KBRI mengimbau agar program praktik kerja industri segera ditertibkan. Sebab, banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia yang mengikuti on the job training di luar negeri, namun mereka di eksploitasi. "Kami tidak tahu mengenai hal ini dan baru tahu setelah ada kejadian. Kami minta segenap masyarakat untuk bekerja sama membongkar kasus ini," kata Tatang.
Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri menyatakan kasus ekslpoitasi pelajar dan mahasiswa Indonesia berkedok on the job training merupakan modus operandi baru. "Seolah-olah mereka akan dijadikan siswa magang, padahal di sana dipekerjakan," kata Bambang di Mabes Polri. Dia mengatakan langkah-langkah hukum telah dilakukan terkait dengan praktik pengiriman pelajar ini.
Brigjen Pol Mathius Salempang, Kepala Biro Analisis dan Pengkajian Kejahatan Antarnegara Mabes Polri, menginformasikan sudah menahan 3 tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Priyanto Esty Hartono (Direktur TBHS); Widy selaku agen penempatan on the job training di Malaysia; dan Zubaedah alias Nurul yang membantu Widy menempatkan mahasiswa di beberapa hotel dan restoran di Malaysia.
Menurut Mathius, di Malysia para siswa itu disuruh menandatangani kontrak kerja 3 bulan pertama dengan gaji 350 ringgit untuk 8 jam kerja setiap hari dan 3 bulan berikutnya akan digaji 450 ringgit dengan 12 jam kerja. "Ini jelas masuk kategori trafficking, karena ada unsur kesengajaan dan mencari keuntungan dengan tidak dilengkapi dokumen," katanya.
Banyaknya kasus trafficking di tanah air membuat masyarakat resah. Apalagi selalu muncul modus operandi baru. Perlu keseriusan semua pihak untuk mencegah praktik itu. Paling tidak agar nasib pelajar Indonesia tidak berakhir di tangan sindikat perdagangan manusia.
Sumber : Kurniawan Tri Yunanto
Ditulis oleh Administrator
Tuesday, 24 February 2009
HUT Bhayangkara, Momentum Pembangunan Polri di Era Kebangkitan Nasional Oleh: Yuyun Yudhantara
Pasca runtuhnya Orde Baru, Polri adalah salah satu institusi negara yang sering mendapat sorotan dan kritikan tajam dari seluruh lapisan masyarakat. Polri masih sering dianggap kurang dapat melindungi masyarakat atau lemah dalam menegakkan hukum. Ada juga perilaku oknum anggota Polri yang menyimpang seperti masih menggunakan cara kekerasan terhadap masyarakat, mengkonsumsi narkoba, pungli dan memeras. Hal ini menandakan bahwa profesionalisme dan kepercayaan masyarakat terhadap polisi belum sepenuhnya terwujud.
Di tengah sorotan dari berbagai kalangan, Polri berhasil memberantas berbagai bentuk kejahatan di masyarakat seperti terorisme, narkoba, korupsi, perjudian, pembalakan hutan dan penyelundupan. Khusus pemberantasan terorisme, kepolisian mendapat apresiasi dari berbagai pihak di dalam maupun luar negeri. Di usia yang ke-62 ini, Polri telah berupaya merubah perilaku sesuai paradigma baru Polri dan berfungsi sebagai instrumen negara yang dipercaya masyarakat dalam era kebangkitan nasional? Pertanyaan ini mendorong kita untuk lebih dekat memahami sejarah dan proses reformasi Polri serta arah kebijakan Polri ke depan.
Lintasan Sejarah Polri
Zaman Hindia Belanda tahun 1800-1942, kepolisian secara administratif berada di Departemen Dalam Negeri yaitu kantor Hoofd van Dienst der Algemene Politie yang hanya bertugas di bidang administrasi seperti kepegawaian, pendidikan , perlengkapan dan pengawasan. Sedangkan untuk operasionalnya dipertanggungjawabkan kepada Jaksa Agung (procureur generaal). Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, pengorganisasian kepolisian disesuaikan dengan organisasi militer. Dibentuk departemen sendiri yang disebut Keimubu. Pusat kepolisian di Jakarta dinamakan keisatsu bu.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, maka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) yang berkedudukan di Departemen Dalam Negeri tanggal 19 Agustus 1945. Pada tanggal 29 September 1945, Presiden Soekarno melantik Kepala Kepolisian Negara R.I. pertama yaitu Jenderal Polisi R.S.Soekanto. Tanggal 1 Juli 1946 keluar Penetapan Pemerintah Nomor 11/ SD/1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara yang yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Semua fungsi kepolisian disatukan dalam Djawatan Kepolisian Negara, dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia yang diperingati sebagai Hari Bhayangkara (Awaloedin Djamin ;1995).
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) keluar Tap Presiden RIS No.150, tanggal 7 Juni 1950, bahwa organisasi-organisasi kepolisian negara-nagara bagian disatukan dalam Djawatan Kepolisian Indonesia. Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok Kepolisian No.13/1961 yang menyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL,dan AU.
Masa Orde Baru setelah peristiwa G30S/PKI, keluar SK Presiden No.132/1967 tanggal 24 Agustus 1967, ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD,AL,AU dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan.
Pasa masa reformasi, keluar Inpres No.2/1999 tanggal 1 April 1999 yang memisahkan Polri dan TNI,untuk sementara Polri diletakkan di bawah Menteri Pertahanan dan Keamanan. Pada HUT Bhayangkara 1 Juli 2000, dikeluarkan Keppres No.89/2000 yang melepaskan Polri dari Dephan dan menetapkan langsung di bawah Presiden.Kemudian adanya TAP MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menetapkan pemisahan Polri dan TNI, serta TAP MPR No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri.
Reformasi Polri
Sesuai tuntutan demokrasi dalam masyarakat madani (civil society) ini, perubahan terus dilaksanakan oleh Polri. Kinerja kepolisian adalah melindungi dan melayani (to protect and to serve) bukan membunuh atau dibunuh (to kill or to be kill), untuk itu Polri mencanangkan tiga aspek perubahan yaitu instrumental, struktural dan kultural.
Dari aspek instrumental yaitu adanya UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI, secara tegas dinyatakan bahwa Polri bertugas sebagai penegak hukum, pelindung, pelayan,dan pengayom masyarakat serta prinsip menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Aspek struktural, Polri mulai menata organisasi dengan adanya kelembagaan fungsi kepolisian yang bersifat otonom. Aspek kultural dilakukan perubahan menuju kepada polisi sipil (civilian police), yang menunjukkan bahwa pekerjaan polisi selalu berinteraksi dengan masyarakat atau komunitas sipil, jadi perilakunya harus disesuaikan dengan masyarakat sipil. Sekarang ini sudah ada perubahan kurikulum seperti di Akademi Kepolisian (AKPOL) dan Sekolah Polisi Negara (SPN), yaitu mata kuliah yang bersifat militer dikurangi, kecuali seperti latihan baris berbaris dan menembak memang masih diperlukan untuk melatih kedisiplinan dan profesionalisme. Sebagai gantinya diperbanyak mata kuliah yang mengandung profesi kepolisian, hukum, sosial dan HAM.
Paradigma Baru Polri
Dalami paradigma baru ini, Polri perlu melakukan perubahan perilaku militeristik menuju perilaku yang humanistik dan lebih berorientasi pada pelayanan masyarakat. Dengan perilaku tersebut diharapkan dapat terwujud tanggungjawab profesional (professional accountability) dan dipercaya masyarakat (public trust). Untuk mewujudkannya, selain peran pimpinan kepolisian juga komitmen semua anggota kepolisian.
Kita dapat melihat paradigma lama Polri, yaitu tataran filosofi adalah sebagai patriot dan pejuang, tataran struktur dan kedudukan adalah tidak mandiri dan tidak otonom, tataran kultur adalah militeristik dan represif, tataran penampilan yaitu uniform dan militeristik, tataran kontrol tertutup dan sepihak, tataran peradilan dibawah militer dan tataran pendekatan bersifat reaktif dan otoriter. Dalam paradigma baru Polri yaitu tataran filosofi adalah mahir, trampil dan patuh hukum, tataran struktur dan kedudukan adalah mandiri dan otonom, tataran kultur adalah sipil dan pelayan, tataran penampilan yaitu polisi berseragam (uniform police) dan polisi tidak berseragam (plain cloth police), tataran kontrol adalah transparan dan akuntabilitas, tataran peradilan dibawah peradilan umum dan tataran pendekatan bersifat proaktif, demokratis, persuasif dan berperikemanusiaan (humane policing).
Kebijakan Polri Ke Depan
Kebijakan pembangunan Polri ke depan diarahkan menuju polisi sipil yang demokratis yaitu dengan mengembangkan strategi perpolisian masyarakat (polmas), yang mengadopsi dari konsep community policing. Robert R. Friedman menjelaskan bahwa community policing adalah kebijakan dan strategi yang bertujuan agar dapat mencegah terjadinya kejahatan secara efektif dan efisien, mengurangi kecemasan terhadap kejahatan, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kualitas pelayanan polisi dan kepercayaan terhadap polisi, dalam jalinan kerja sama yang proaktif dengan sumber daya masyarakat yang ingin mengubah berbagai kondisi penyebab kejahatan (Kunarto;2000).
Dalam Skep Kapolri No.Pol. Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005, tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, disebutkan bahwa konsep polmas mencakup unsur perpolisian dan masyarakat. Perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata â€Å“policing†berarti segala hal tentang penyelenggaraan fungsi kepolisian. Masyarakat merupakan terjemahan dari kata â€Å“community†(komunitas), dalam konteks polmas berarti warga masyarakat yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya, seperti RT,RW, desa, pasar, dan kawasan industri. Dalam pengertian yang diperluas masyarakat dalam pendekatan polmas bisa meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah yang lebih luas seperti kecamatan, kota, masyarakat berdasar etnis dan agama.
Polmas yaitu ide, gagasan atau model pemolisian yang berpihak kepada masyarakat, lebih proaktif menuju terwujudnya kerjasama yang efektif antara polisi dan masyarakat dalam suatu relasi kemitraan yang sejajar, serta mencari pemecahan masalah yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sumber daya manusia kepolisian yang terbatas, sehingga membutuhkan keikutsertaan masyarakat. Sasaran penerapan polmas adalah membangun Polri yang dapat dipercaya oleh masyarakat, dan membangun komunitas yang siap bekerjasama dengan Polri dalam meniadakan gangguan keamanan serta menciptakan ketentraman. Dirgahayu Polri semoga tetap jaya !
Penulis : Alumni Pasca Sarjana Kajian Ilmu Kepolisian Univ.Indonesia, bertugas di Biro Operasi Polda Sultra. ( Kendari Pos )
Hari Senin 22/09/2008 adalah hari yang istimewa, karena Fahmina kedatangan tamu dari International Labour Organisation (ILO), sebuah oraginsasi international yang knsen membela hak-hak buruh. Rombongan dari ILO ini adalah Irham dan Steven Schimdt dengan ditemani oleh Castra dari Forum Warga Buruh Migran Indonesia (FWBMI).
Kedatangan ke Cirebon untuk melihat dari dekat, sejauh mana Perda-Perda yang diusung oleh lembaga-lembaga yang concern dengan advokasi korban trafiking dan Buruh Migran. Karena itu, selain ke Fahmina Institute, mereka juga berkunjung ke kantor Disnakertrans Kabupaten Cirebon.
Pertemuan antara Fahmina dan ILO berlangsung hangat. Obeng, Ali Mursyid dan Alif menjelaskan profile Fahmina dari mulai pola kerja yang dilakukan, juga memaparkan kerja-kerja Fahmina selama ini dalam komitmennya menghapuskan trafiking. Diantaranya, kampanye anti trafiking melalui penerbitan buletin al-Basyar, penerbitan buku-buku bertemakan Anti Trafiking, majalah Blakasuta dan talkshow di radio-radio komunitas, dan seminar-seminar. Juga, pendampingan terhadap kasus-kasus trafiking.
Steve, panggilan akrab Steven Schimdt menanyakan apakah kendala apa saja yang dihadapi kawan-kawan di Cirebon untuk mendesak diterbitkannya Perda Anti Trfaiking? Alif menyatakan bahwa JIMAT (Jaringan Masyarakat Anti Trafiking) sudah berupaya keras untuk melobi pihak legislatif tapi nggak lebih dari 3 anggota DPRD tersebut yang merespon dengan baik usulan kita, lebih tepat jika dibilang ”mereka tak acuh terhadap penyusunan raperda anti trafiking ini”, ungkapan itu langsung dibenarkan oleh Pak Castra.
”Pemda pun tak kalah gigih dalam mengemukakan alasan, stiap kali kita mendesak pengesahan raperda ini, dari mulai belum terdaftar di Kabag Hukum hingga belum terteranya anggaran penyusunan raperda trafiking dan raperda perlindungan TKI dalam APBD, sehingga harus menunggu tahun depan (baca: tahun 2009)”, tambah Alif.
”Saya tidak tahu kenapa mesti begitu lama untuk mengeshkan raperda ini, karena raperda anti trafiking ini sudah diusung dari tahun 2004, tapi kenyataannya proses berjalan sangat lambat. Apa pihak eksekutif dan legislatif yang memang acuh terhadap persoalan masyarakat ataukah memang kita yang belum maksimal mendorong itu, kalau perlu kita bikin strategi lagi untuk mendesak pemerintah daerah, jika memungkinkan kita gunakan aksi massa”, Kang Obeng memberi komentar.
Di samping itu Ali mengemukakan beberapa kegiatan terakhir Fahmina terkait isyu trafiking, seperti program Polmas dan kerjasama Fahmina, NU dan Polres kab. Cirebon dalam menanggulangi kejahatan trafiking melalui rencana pembentukan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat.
Sumber : Arifiyati